Mana Blok M-ku
Mana Blok M-ku –
Mana Blok M-ku?
Saat ini kalau ke Blok M, saya tidak bisa membayangkan di mana Blok M yang saya kenal ketika saya masih kecil.
Saya mengenal Blok M di tahun ’70-an, sebagai tempat rekreasi akhir pekan. Orang tua saya mengajak kami ke Blok M untuk mengunjungi dua toko. Anak-anak ke toko buku dan ibu saya ke toko kain. Kadang membeli sepatu di toko Bata.
Mobil Bapak diparkir di depan gedung, lalu kami masuk ke dalam. Sangat simpel. Seperti pergi ke Pasar Jaya mana pun. Ya, ketika itu Blok M masih di level Pasar Jaya, dengan bangunan dua lantai.
Kecil dan akrab. Begitu kecilnya Blok M, sehingga pengunjung menjadi “akrab”. Artinya, tahu apa yang terjadi di sana. Misalnya, kehadiran seorang ODGJ bernama Maryam Blok M, dikenal dengan baik oleh warga Jakarta. Maryam senang berkeliaran di Blok M, dan mengganggu laki-laki muda. Kakak saya pun pernah diciumnya saat kami sekeluarga berjalan beriringan di depan kios-kios di Blok M.
Setelah saya SMA dan kuliah saya tidak ke Blok M. Bapak yang biasa mengajak keluarga berakhir pekan ke Blok M sudah wafat. Konsentrasi Ibu lebih pada biaya pendidikan, bukan ke pertokoan. Selain itu, karena kampus saya di Rawamangun, area main saya berubah. Saya membeli buku bekas di Senen dan buku baru di Gramedia Gajah Mada.
Saya tidak mengikuti perkembangan Blok M menjadi Aldiron Plaza yang berlantai 5 di tahun 1978. Apalagi ketika Aldiron menjadi Blok M Square.
Saya kembali ke Blok M setelah menikah dan bekerja untuk hal lain.
Pasaraya
Titik kumpul kami di Kolam Air Mancur, Pasaraya, sebelum melakukan perjalanan sejauh 1,5 kilometer selama 1,5 jam.
Hal yang mencengangkan saya adalah waktu tempuh yang superkilat dari rumah kami di Jagakarsa ke Pasaraya. Kami hanya perlu waktu 30 menit, berkat adanya tol Brigif Andara.
Namun dengan kenikmatan itu, tak membuat kami jadi kerap ke Pasaraya seperti dulu. Seingat saya, terakhir kali saya ke Pasaraya itu menjelang pandemi. Konter-konter sudah banyak berkurang, dan yang ada menawarkan diskon gede-gedean. Saya mendapat sepatu kulit dengan harga sangat miring waktu itu.
Sore itu pun dengan mudah kami mendapatkan parkir di basement. Begitu masuk lahan parkir, mobil langsung menemukan “singgasananya”, tanpa perlu belok dan berputar dari satu lantai parkir ke lantai berikutnya.
Kami tiba di Pasaraya 10 menit sebelum jam berkumpul. Sepertinya tadi di area air mancur belum ada yang datang. Cukup waktu untuk salat Ashar.
Tapi salat di mana? Terlalu jauh kalau ke Masjid ALatief, yang seingat saya ada di Lantai 5. Kami celingak-celinguk, namun tidak tampak petugas keamanan. Lahan parkir di basement itu sepi seperti kuburan.
Suami saya mengajak saya masuk ke pintu mal. Tidak ada toko buka. Lebih tepatnya, sungguhkah masih ada toko yang aktif berjualan pada hari kerja? Dulu Pasaraya tidak pernah libur.
Kami salat di bawah eskalator. Dalam kondisi normal, kami pasti sudah diusir, atau jadi viral.
Sore itu kami berdua melihat kembali bingkai-bingkai masa lalu di Pasaraya. Mal ini cukup akrab bagi kami. Dalam setahun adalah enam kali kami ke sana. Membeli baju untuk momen khusus, barang kerajinan, sepatu, dan kebutuhan lain. Pasaraya juga menjadi tempat meetup bersama teman-teman. Bahkan suami saya mempunyai kenalan, bekas teman kantor, “Kalau mengalami sesuatu di Blok M, hubungi saya. Atau bilang saja teman T.”
Pertemuan dengan T terjadi di kafe berlogo Eiffel. Ketika suami saya membayar, T mengatakan sambil tertawa bahwa biasanya dia tidak bayar.
Kafe itu sudah tutup pastinya, begitu juga hampir semua toko di Pasaraya. Mal kenangan itu sudah menjadi kantor Gojek. Saya melihat logo besar Gojek di atap bangunan.
Pasaraya
Titik kumpul kami di Kolam Air Mancur, Pasaraya, sebelum melakukan perjalanan sejauh 1,5 kilometer selama 1,5 jam.
Hal yang mencengangkan saya adalah waktu tempuh yang superkilat dari rumah kami di Jagakarsa ke Pasaraya. Kami hanya perlu waktu 30 menit, berkat adanya tol Brigif Andara.
Namun dengan kenikmatan itu, tak membuat kami jadi kerap ke Pasaraya seperti dulu. Seingat saya, terakhir kali saya ke Pasaraya itu menjelang pandemi. Konter-konter sudah banyak berkurang, dan yang ada menawarkan diskon gede-gedean. Saya mendapat sepatu kulit dengan harga sangat miring waktu itu.
Sore itu pun dengan mudah kami mendapatkan parkir di basement. Begitu masuk lahan parkir, mobil langsung menemukan “singgasananya”, tanpa perlu belok dan berputar dari satu lantai parkir ke lantai berikutnya.
Kami tiba di Pasaraya 10 menit sebelum jam berkumpul. Sepertinya tadi di area air mancur belum ada yang datang. Cukup waktu untuk salat Ashar.
Tapi salat di mana? Terlalu jauh kalau ke Masjid ALatief, yang seingat saya ada di Lantai 5. Kami celingak-celinguk, namun tidak tampak petugas keamanan. Lahan parkir di basement itu sepi seperti kuburan.
Suami saya mengajak saya masuk ke pintu mal. Tidak ada toko buka. Lebih tepatnya, sungguhkah masih ada toko yang aktif berjualan pada hari kerja? Dulu Pasaraya tidak pernah libur.
Kami salat di bawah eskalator. Dalam kondisi normal, kami pasti sudah diusir, atau jadi viral.
Sore itu kami berdua melihat kembali bingkai-bingkai masa lalu di Pasaraya. Mal ini cukup akrab bagi kami. Dalam setahun adalah enam kali kami ke sana. Membeli baju untuk momen khusus, barang kerajinan, sepatu, dan kebutuhan lain. Pasaraya juga menjadi tempat meetup bersama teman-teman. Bahkan suami saya mempunyai kenalan, bekas teman kantor, “Kalau mengalami sesuatu di Blok M, hubungi saya. Atau bilang saja teman T.”
Pertemuan dengan T terjadi di kafe berlogo Eiffel. Ketika suami saya membayar, T mengatakan sambil tertawa bahwa biasanya dia tidak bayar.
Kafe itu sudah tutup pastinya, begitu juga hampir semua toko di Pasaraya. Mal kenangan itu sudah menjadi kantor Gojek. Saya melihat logo besar Gojek di atap bangunan.
Pasaraya
Titik kumpul kami di Kolam Air Mancur, Pasaraya, sebelum melakukan perjalanan sejauh 1,5 kilometer selama 1,5 jam.
Hal yang mencengangkan saya adalah waktu tempuh yang superkilat dari rumah kami di Jagakarsa ke Pasaraya. Kami hanya perlu waktu 30 menit, berkat adanya tol Brigif Andara.
Namun dengan kenikmatan itu, tak membuat kami jadi kerap ke Pasaraya seperti dulu. Seingat saya, terakhir kali saya ke Pasaraya itu menjelang pandemi. Konter-konter sudah banyak berkurang, dan yang ada menawarkan diskon gede-gedean. Saya mendapat sepatu kulit dengan harga sangat miring waktu itu.
Sore itu pun dengan mudah kami mendapatkan parkir di basement. Begitu masuk lahan parkir, mobil langsung menemukan “singgasananya”, tanpa perlu belok dan berputar dari satu lantai parkir ke lantai berikutnya.
Kami tiba di Pasaraya 10 menit sebelum jam berkumpul. Sepertinya tadi di area air mancur belum ada yang datang. Cukup waktu untuk salat Ashar.
Tapi salat di mana? Terlalu jauh kalau ke Masjid ALatief, yang seingat saya ada di Lantai 5. Kami celingak-celinguk, namun tidak tampak petugas keamanan. Lahan parkir di basement itu sepi seperti kuburan.
Suami saya mengajak saya masuk ke pintu mal. Tidak ada toko buka. Lebih tepatnya, sungguhkah masih ada toko yang aktif berjualan pada hari kerja? Dulu Pasaraya tidak pernah libur.
Kami salat di bawah eskalator. Dalam kondisi normal, kami pasti sudah diusir, atau jadi viral.
Sore itu kami berdua melihat kembali bingkai-bingkai masa lalu di Pasaraya. Mal ini cukup akrab bagi kami. Dalam setahun adalah enam kali kami ke sana. Membeli baju untuk momen khusus, barang kerajinan, sepatu, dan kebutuhan lain. Pasaraya juga menjadi tempat meetup bersama teman-teman. Bahkan suami saya mempunyai kenalan, bekas teman kantor, “Kalau mengalami sesuatu di Blok M, hubungi saya. Atau bilang saja teman T.”
Pertemuan dengan T terjadi di kafe berlogo Eiffel. Ketika suami saya membayar, T mengatakan sambil tertawa bahwa biasanya dia tidak bayar.
Kafe itu sudah tutup pastinya, begitu juga hampir semua toko di Pasaraya. Mal kenangan itu sudah menjadi kantor Gojek. Saya melihat logo besar Gojek di atap bangunan.
Melawai, Dulu & Kini
Pengisi Konten: Endah WS
Page Builder: Divi/Elegant Themes
Layout Pack: City
Font: Cutive (Heading)/Ubuntu (Body Text)