30DWC
#35 – Squad 6
Pada hari #27 sampai dengan #29 program 30DWC, ada tema khusus yang diminta, masing-masing luka, rawat, sembuh. Kesempatan ini saya pakai untuk menulis tentang Mohammad Yamin, sosok di balik berbagai kontroversi pada awal kelahiran bangsa ini, termasuk kontroversi tentang Gajah Mada.
Saya pribadi mengagumi Mohammad Yamin, sebagai sosok berani, cerdas dan super influencer pada masanya.
#27
Senin, 14 Maret 2022
Seorang Pemuda dan Bangsa yang Luka
Tahun depan, tepatnya 23 Agustus 2023, pemuda itu berusia 120 tahun, kalau dia masih hidup. Seratus dua puluh tahun adalah angka harapan hidup yang mustahil bagi manusia. Qodarullah pemuda itu hidup sampai usia 59 tahun, separuh dari angka di atas. Namun sekalipun dia tiada, dia masih dikenang orang hingga saat ini, enam dekade setelah dia wafat.
Nama pemuda itu Mohammad Yamin. Kita mengenalnya dari buku-buku sejarah perjuangan bangsa. Kita juga bisa melihat namanya jadi nama jalan besar di Palu, Bali, Jember, Bekasi, Jakarta, dan masih banyak kota-kota lain. Bila memerlukan buku karya Mohammad Yamin, kita tinggal buka salah satu e-commerce, baik baru maupun bekas. Begitu banyak karya tulisnya sehingga kita akan mudah mendapatkannya.
Mohammad Yamin sosok yang out-of-the-box untuk zamannya (mungkin hingga saat ini?). Kalau sekarang ada istilah influencer, maka Yamin, lebih dari itu. Dia tidak hanya mempengaruhi orang, tetapi menciptakan cara-cara agar orang mengikuti pemikirannya.
Yamin adalah putra mantri kopi di Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat. Sekalipun ayahnya, Bagindo Chatib, seorang pejabat daerah, Yamin tidak menjadi pangeran yang menebar pesona di kampungnya. Hidupnya tidak mudah karena di rumah ada 15 saudara dari lima ibu. Yamin lebih banyak diasuh oleh kakaknya, Mohammad Yaman, seorang guru yang sering berpindah-pindah tugas. Ke mana pun Uda Yaman pindah, Yamin ikut. Jadi Yamin pernah bersekolah di kampungnya, Talawi, lalu bukit Tinggi dan akhirnya lulus dari HIS (Hollandsch Inlandsche School) Palembang di usia 15 tahun. Karena berpindah-pindah sekolah, Yamin pun terlambat lulus SD.
Pengalaman berpindah-pindah tempat tinggal dan sekolah ini membuka wawasannya. Dia tertarik pada sastra dan sejarah. Semangat belajarnya juga terus membara. Saat bersekolah di Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta, bakat sastra Yamin mencuat. Di usia 17 tahun karyanya dimuat di majalah Jong Sumatra dan Pudjangga Baru. Sastrawan Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisyahbana menjadi redaktur yang meloloskan karya pujangga muda ini.
Minat besarnya pada sejarah dilakukannya dengan mempelajari kerajaan-kerajaan besar Majapahit dan Sriwijaya. Tidak hanya itu. Dia menulis buku tentang sejarah: Gajah Mada, Lukisan Sejarah, dan Sang Merah Putih, di antaranya. Dia belajar bahasa Sansekerta khusus pada sejarawan Poerbatjaraka.
Saat kuliah Yamin tidak mengambil jurusan sastra ataupun budaya, tetapi ilmu hukum. Dia merasa ilmu itu perlu untuk menata negaranya yang baru lahir, dengan bersandarkan pada sejarah kebesaran Nusantara di masa lampau.
Dengan semangat dan bakatnya, tak heran kan Yamin menjadi pengobat untuk bangsanya yang tertoreh luka penjajahan yang dalam.
Berikutnya: Yamin Merawat Luka Bangsanya
#30dwcjilid35
#squad6
#day27