N.E

Daya Lenting Guru Milenial di Masa Pandemi

Daya Lenting Guru Milenial-Hari sudah pukul 16. Kesibukan di sekolah kami belum berakhir. Guru-guru masih asyik mengulik peralatan yang dipakai untuk blended learning. Dua smart TV telah dipasang di dua kelas yang berdampingan. Pada  layar televisi dipasang webcam, sehingga anggota kelas bisa dapat muncul sebagai participants pada kegiatan belajar daring dengan menggunakan aplikasi Zoom.

Mereka mengadakan simulasi. Ada yang menjadi pengajar, dan ada  yang menjadi murid. Guru-guru muda itu sedang mencoba pembelajaran yang memadukan tatap muka dan daring (blended learning).

Simulasi itu dilakukan karena kemungkinan besar pekan berikutnya kami, sebuah SD Swasta di Jakarta, akan mulai melakukan Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Itu baru kemungkinan, ya, karena kami masih menunggu Surat Keputusan (SK) dari Dinas Pendidikan. Meskipun belum ada kepastian, guru-guru melakukan persiapan lebih awal.

Bagaimana seandainya  tidak jadi Pembelajaran Tatap Muka? Hmm … sejak awal masa pandemi, kami semua terbiasa dengan hal yang tidak pasti, mendadak, dan berubah.

 

Resiliensi di Masa Pandemi

Dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh UI bertajuk Resiliensi di Masa Pandemi disampaikan bahwa kemampuan resiliensi orang Indonesia itu rendah. “Mereka cenderung tidak tahan terhadap tekanan atau rasa sakit serta cenderung pesimis melihat masa depan ketika mengalami situasi yang menekan dan membuat mereka terpukul,” ujar Dr. Bagus Takwin, M.Hum, peneliti utama dalam penelitian itu.

Penelitian itu membuat saya mencermati guru-guru saya, juga guru-guru dari SD lain secara random. Apakah mereka masuk dalam kategori masyarakat dengan kemampuan resiliensi (daya lenting) rendah?

Jawaban atas pertanyaan itu saya uraikan berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi saya. Jadi saya tidak bermaksud menggugat penelitian akademisi.

Menjadi Guru di Masa Pandemi

Pertama saya akan uraikan bagaimana menjadi guru di era pandemi. Hal yang mendasar adalah berkurangnya “arena privasi”  seorang guru. Saat mengajar, orang tua si anak kemungkinan besar akan mendampingi, kalaupun tidak mengawasi. Bila si anak masih di kelas 1 atau 2 SD, kemungkinan besar ada orang tua di samping si anak. Kalau si anak sudah kelas 3 dan 4, kemungkinan orang tuanya akan berada di ruang yang sama, tidak secara langsung mengawasi, tetapi tetap memantau. Kalau sudah kelas 6, biasanya anak belajar di kamar sendiri. Pastinya orang tuanya masih tetap memperhatikan. Intervensi dari orang tua pasti akan lebih cepat muncul, terutama dari kelas rendah, kalau muncul ketidaknyamanan anak atau kualitas mengajar.

Menurut Margaret Freund, dalam The Classroom as an Arena of Teachers’ Work, kelas adalah arena guru untuk  menerapkan wisdom of practice. Artinya, saat menghadapi masalah dalam pembelajaran, guru akan mencari jalan keluar. Arena itu tidak berkembang bila ada intervensi.

Tantangan demi Tantangan

Tantangan kedua terkait dengan kepuasan guru dalam melihat perkembangan siswanya. Sayangnya, di saat pandemi ada keterbatasan dalam memberikan pembelajaran. Misalnya, dalam mengajarkan menulis (handwriting) pada siswa level rendah, guru dapat memberikan contoh lebih baik saat tatap muka dibandingkan dengan ketika daring.

Tantangan mengajar juga datang dari pihak pembuat kebijakan. Misalnya, jadwal-jadwal yang bertabrakan: ada  vaksinasi siswa usia 12 tahun, persiapan Pembelajaran Tatap Muka, Asesmen Nasional, dan Penilaian Tengah Semester.

Bagaimana Guru Milenial Menghadapi Tantangan Itu?

Silakan simak di sini.

guru milenial

Narasi Pendidikan yang Lain

Surat untuk Hening

Surat untuk Hening

Surat untuk Hening adalah surat seorang pendidik terhadap seorang ABK yang menjadi pusat perhatian ibunya sehingga adiknya terabaikan.

read more

Web Narasi N.EWS

Menulis Narasi dengan Renyah & Lincah

 

Pengisi Konten: Endah WS

Page Builder: Divi/Elegant Themes

Layout Pack: Writer

Font: Cutive Mono (Heading)/Ubuntu (Body Text)

 

 

N.EWS

× Hubungi saya