Jakarta-Sukabumi Naik Kereta Api
Jakarta-Sukabumi naik kereta api! Ajakan Wiwied, sahabat saya ketika SMP, sangat menarik. Saya menikmati perjalanan naik kereta api, suara gesekan roda dan rel membangkitkan kenangan masa kecil ketika diajak mudik ke kampung Bapak Ibu di Banyumas, atau ke kota kelahiran Saya di Surabaya.
Saya belum pernah naik kereta api ke luar kota jarak dekat, kecuali Bogor (56 kilometer) dan Bekasi (28 kilometer). Namun kedua kota itu termasuk extension Jakarta, kan, dan kalau moda yang dipakai adalah Commuter Line rasanya belum ke luar kota. Kota-kota di Jawa Barat yang pernah saya datangi dengan kereta api adalah Cimahi (145 kilometer), Bandung (153 kilometer), dan Cirebon (221 kilometer). Jarak Jakarta-Sukabumi hanya 113 kilometer. Jadi saya menyambut ajakan Wiwied dengan penuh semangat.
Wiwied juga mengajak teman-teman SMP lain yang tergabung di grup WhatsApp “Jalan-Jalan Bahagia”, dan terkumpullah empat peminat lain: Boy, Diah Lies, Yanti, dan Yuyun. Jadi enam pensiunan, kakek/nenek sekaligus pegiat jalan-jalan akan ngebolang naik kereta api ke Sukabumi.
N.E
Sukabumi yang Saya Kenal
Istilah Sukabumi mengacu pada dua area, kota Sukabumi dan Kabupaten Sukabumi. Kota Sukabumi menjadi bagian dari Kabupaten Sukabumi, yang beribukotakan Palabuhanratu.
Baik kota maupun Kabupaten Sukabumi tidak saya kenal dengan baik. Ketika kecil saya pernah ke kota Sukabumi dua atau tiga kali, mengunjungi Bu Lik Mardi, adik Bapak yang bersuamikan pegawai PLN. Tapi saya juga tidak pasti, apakah yang saya datangi itu Sukabumi atau Cirebon, karena Pak Mardi kerap berpindah tugas antara kedua kota itu.
Sahabat saya sewaktu saya menjadi jurnalis di majalah Femina juga berasal dari kota Sukabumi. Namun dari Dewi Anwari, nama sahabat saya itu, saya tidak mendapat gambaran tentang Sukabumi karena dia lebih banyak bercerita tentang Bandung, kota tempat dia kuliah.
Atasan saya di Femina pun asli Sukabumi. Saat bekerja di Femina, saya hanya bicara dengan beliau soal pekerjaan. Setelah kami pensiun, kami sering berkirim chat. Pada waktu kasus tenggelamnya putra Ridwan Kamil di Sungai Aare, Swiss, Bu Widarti bercerita, “Saya anak gunung. Saya tahu sekali ulah sungai yang kadang-kadang suka murka. Karena itu saya melarang anak-anak arung jeram di sekitar Sukabumi.”
Saya pribadi tertarik pada sungai, karena sekolah yang saya kelola diapit tiga sungai kecil, yang membentang dari selatan (Bogor) ke utara (Laut Jawa).
Ayuk lah melihat sungai di Sukabumi!
Yuk, berangkat ke Sukabumi!
Keenam pejuang jalan-jalan pun naik Commuter Line dari Jakarta, dan berkumpul di Stasiun Bogor, tepatnya di depan minimarket A. Kami berencana naik KA Pangrango Eksekutif pukul 8.20.
Kami beruntung bisa naik dari Stasiun Bogor. Sebelum 1 Juni 2022, penumpang KA Pangrango harus naik dari Stasiun Bogor Paledang, yang berjarak 200 meter dari Stasiun Bogor. Jadi pengguna Commuter Line turun di Stasiun Bogor, lalu melintasi Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang menghubungkan Stasiun Bogor dan Stasiun Paledang.
Jembatan itu tidak membuat nyaman, kata teman yang pernah menaikinya. “Dari bahu jalan tidak tegak lurus, tapi serong, sehingga jaraknya makin panjang. Lebarnya juga sempit. Ketika jam sibuk, kita harus minggir. Hiiii,” katanya.
Syukurlah kali ini penumpang KA Pangrango tidak perlu lagi menyeberangi jembatan itu. JPO kira-kira berada di sebelah tenggara titik kumpul kami, di balik gedung bertuliskan Taman Topi.
Saya menjadi orang ketiga yang datang, sesudah Wiwied dan Yanti. Sambil mendengarkan Yanti bercerita, saya melayangkan pandang ke arah datangnya rel. Saya menatap bayangan gunung yang begitu jelas, seperti gambar yang saya buat ketika SD. Saya menduga itu adalah Gunung Pangrango, yang namanya dipakai sebagai nama kereta api yang kami tumpangi. Gunung itu terletak di tenggara stasiun, berjarak 44 km dari Bogor, dan berada di perbatasan Bogor Sukabumi.
Pagi itu Stasiun Bogor cukup ramai. Untuk mengurangi antrean di loket Stasiun Bogor, maka penjualan tiket Bogor-Sukabumi dilakukan melalui daring atau di Stasiun Paledang.
Kami sudah mempunyai tiket, yang dipesan Wiwied secara daring. Bahkan Wiwied sudah mencetaknya sebelum teman-temannya datang. Maklum Wiwied pernah bekerja di maskapai penerbangan, sehingga dia tahu bagaimana membuat teman-teman jalan-jalannya menjadi nyaman dan bahagia.
Saya terpukau melihat kedatangan kereta api putih dari arah selatan. “Itu Pangrango,” kata Wiwied.
Tak berapa lama kemudian Boy, Yuyun dan Diah muncul. Kami pun bergegas naik kereta.
Kereta Api Pangrango
Kesan pertama ketika masuk gerbong KA Pangrango adalah bersih dan terang. Warna joknya yang biru muda juga menimbulkan rasa adem. Posisi kursi berjajar, dan masing-masing bisa ditempati dua penumpang. Kursi dapat direbahkan seperti di pesawat terbang.
Saya duduk di lajur kanan, bersama Yuyun. Di belakang kami Yanti dan Diah Lies. Wiwied dan Boy duduk di lajur kiri, masing-masing bersama penumpang lain.
Sebelum duduk, Yuyun bertanya apakah saya mau di dekat jendela atau lorong. Saya bilang di mana saja oke. Karena kami duduk di nomor ganjil, maka tidak masalah apakah akan duduk dekat jendela atau dekat lorong. Jendela di samping kami cukup lebar sehingga kami bisa melihat pemandangan keluar dengan jelas. Ada tirai untuk mengurangi terpaan sinar matahari.
Di bawah jendela ada colokan untuk menambah daya baterai ponsel, laptop serta tablet. Di pagi itu daya di baterai ponsel kami masing-masing masih penuh, jadi kami tidak menggunakan fasilitas itu.
Ada rak di langit-langit kereta untuk wadah tas. Kami masing-masing hanya membawa tas tangan yang kami letakkan di pangkuan. Percaya tidak, di dalam tas tangan kami ada makanan. Saya membawa pastel, Wiwied siap dengan roti manis, dan Yanti menawarkan timus. Cukup separuh anggota rombongan yang membawa bekal. Perut kami tidak cukup menampung bila semua membawa makanan. Itu yang membuat kami menolak ketika sepasang prama-pami menawarkan nasi goreng dan minuman.
Selain hidangan yang ditawarkan prama dan prami, penumpang juga bisa menikmati makanan di gerbong restorasi. Sekelompok anak muda yang duduk di depan Boy sepertinya menghilang ke sana. Mereka duduk sebentar di gerbong kami, lalu tak terlihat lagi. Ide yang baik untuk menikmati kereta. Mengobrol di restorasi. Mungkin suatu saat akan kami lakukan.
Foto Iriyanti.
Kereta Api Siput
Sungguhkah kami akan mencoba ide anak-anak muda itu?
Hmm, saat kereta melaju, teman-teman mulai mengeluh karena kereta berjalan lamban. Saya cek di aplikasi Waze, kecepatannya sekitar 37 kilometer per jam, atau diklaim 40 kilometer pada situs KAI. Sungguh berbeda dengan Commuter Line yang kecepatannya bergradasi hingga mencapai 70 kilometer per jam, atau MRT Jakarta yang bisa 100 kilometer per jam.
Dengan kecepatan 40 kilometer per jam, kami seperti naik kereta siput. Boy yang mantan polisi bilang ingin menggantikan masinis supaya kereta bisa lebih cepat.
Wait …. Kereta Api Pangrango berada pada jalur mengitari Gunung Pangrango. Jadi ada banyak tanjakan dan lengkungan. Di situs ini saya menemukan bahwa kereta api perlu menurunkan kecepatan di tikungan agar tidak terlempar keluar rel akibat gaya sentrifugal dan sentripetal.
Saya jadi penasaran pada gaya sentrifugal dan sentripetal. Karena tidak paham fisika, saya bertanya kepada salah seorang guru di sekolah saya yang berlatar belakang Pendidikan Fisika.
Menurut Kak Tiara, panggilan di sekolah untuk bu guru ini, gaya sentrifugal adalah gaya yang mendorong ke arah luar lingkaran, sedangkan sentripetal adalah gaya yang menuju ke pusat lingkaran.
Jadi pada saat kami mengobrol di KA Pangrango. ada dua gaya yang ikut mengobrol, atau malah bertengkar ya. “Yang satu gayanya maunya ke arah luar lingkaran, yang satunya menahan agar tetap on track,” kata Kak Tiara.
Pastinya pihak KAI sudah memperhitungkan hal ini agar penumpang tetap aman, bagaimana pun kondisi medannya.
Peta Google Maps.
Dari Jendela Kereta Api
Dari jendela, saya lebih banyak melihat kebun-kebun. Ini berbeda dengan perjalanan ke Jawa yang banyak melintasi persawahan. Saat itu kami sedang mengitari Gunung Pangrango kan, jadi yang tampak adalah pepohonan.
Wilayah yang subur itu membuat Sukabumi jadi incaran penjajah. Perkebunan teh dan kopi membuat mereka betah menggali hasil bumi Sukabumi. Saya teringat pada cerita Max Havelaar, yang ditulis oleh Multatuli, nama pena Edward Douwes Dekker, pada tahun 1860. Judul lengkap Max Havelaar adalah Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij” (Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda). Latar cerita itu di Lebak, yang terletak di sebelah barat Kabupaten Sukabumi. Di cerita itu ada tokoh Saidjah dan Adinda, dua anak desa yang kehilangan kerbau kesayangan karena diambil pejabat distrik (pemerintah Belanda).
Berbeda dengan Lebak, catatan tentang Sukabumi tidak berupa cerita fiksi, tetapi dokumen nonfiksi dari dr Andries de Wilde di tahun 1815. De Wilde adalah pemilik perkebunan teh dan kopi di sana. De Wilde pula yang mengganti nama daerah itu dari Tjikole menjadi Soekaboemi, yang berarti tanah yang disukai.
Pagi itu di antara kebun-kebun rimbun ada sungai yang selalu mengikuti kami. Ya, di sisi kanan kereta ada Sungai Ci Sadane. Di daerah Cijeruk, sungai itu beralih ke sebelah kiri. Ci Sadane adalah salah satu sungai besar di Pasundan. Dengan panjang 126 kilometer, sungai ini berhulu di Gunung Pangrango dan bermuara ke Laut Jawa. Dari jendela kereta sungai itu tampak tenang. Apakah sungai ini pernah makan korban, seperti Sungai Aare di Swiss? Ya, pastinya. Kalau kita buka di internet akan muncul cerita-cerita korban tenggelam di Ci Sadane.
“Sungai bisa murka,” kata Ibu Widarti, yang lahir dan besar di kota kecil dikitari gunung dan sungai.
Jadi pengguna Kereta Api Pangrango, ada baiknya menghayati perjalanan melintasi gunung dan sungai. Alam mengajarkan kepada kita kehidupan yang pelan dan khusuk.
Foto; EWS.
Narasi Perjalanan yang Lain
Kala Mega Mendung di Resto Biru
Kala Mega Mendung di Resto Biru adalah tulisan tentang kunjungan ke Restoran Nur Corner di Jenggala, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Booking Soerabaja Place Guest House di Traveloka
Booking Soerabaja Place Guest House adalah tulisan tentang kembali ke rumah masa kecil di Surabaya yang sudah berubah menjadi penginapan.
Naik Bus Jakarta – Denpasar: 8 Langkah agar Nikmat
Naik bus Jakarta Denpasar bisa menjadi pilihan bagi yang ingin bertualang. Ini 8 tip agar perjalanan jadi nikmat.
Win Meong dari Semarang
Saat ke Semarang bersama teman-teman kuliah, saya bertemu dengan seorang perempuan pemandu wisata yang luar biasa di Kota Lama.
Sabira, Pulau Penuh Cerita
Pulau Sabira berjarak 160 km dari Jakarta, dan merupakan pulau paling utara di Kepulauan Seribu. Pulai ini mempunyai sejarah yang unik.
Web Narasi N.EWS
Menulis Narasi dengan Renyah & Lincah
Pengisi Konten: Endah WS
Page Builder: Divi/Elegant Themes
Layout Pack: Writer
Font: Cutive Mono (Heading)/Ubuntu (Body Text)
N.EWS