Sabira, Pulau Penuh Cerita

Siap ke Pulau Sabira? Pulau ini terletak 160 km dari Jakarta, dan berada di paling utara Kepulauan Seribu. Sejarahnya unik!

Saya ke sana pada tahun 2019 untuk menulis tentang Bu Hartuti, pionir Pulau Sabira.  Ya, “penemu” pulau itu adalah suaminya, Pak Joharmansyah, seorang nelayan keturunan Bugis pada tahun 1975. Semula mereka tinggal di Pulau Genteng. Namun karena pulau itu akan dijadikan kawasan wisata, penghuni pulau harus meninggalkan tempat itu. Pak Johar pun menemukan pulau kosong yang dikelilingi laut dengan banyak ikan, bernama Pulau Sabira. Bersama dua keluarga lain mereka naik kapal dan hijrah ke pulau itu.

Saya penasaran melihat jejak perjuangan Pak Johar dan Bu Tuti sebagai pembuka lahan di sebuah pulau. Karena itu, sebelum ke sana saya menemui Bu Hartuti di rumahnya di Muara Kamal, Jakarta Utara. Itu adalah rumah kedua Bu Hartuti, yang ditempatinya jika ada keperluan berobat. Saat saya mewawancarai Bu Hartuti, putri sulungnya, Bu Firsawati, ikut mendampingi. 

 

N-E

Yuk, ke Pulau Sabira!

Ke Kali Adem

Beberapa hari setelah wawancara, saya berangkat ke Pulau Sabira. Saya mengajak sahabat saya, Mbak Iyang, agar bisa mendapatkan foto yang bagus tentang  Sabira.

Hari Sabtu 16 November 2019 sekitar pukul 7.30 saya dan Mbak Iyang  tiba di Pelabuhan Kali Adem,  Jakarta Utara. Pelabuhan cukup ramai hari itu. Bu Hartuti bilang bahwa pengguna kapal di akhir pekan harus antre sejak pukul 6 karena banyak orang bepergian ke Kepulauan Seribu.

Atas kebaikan keluarga Bu Hartuti, kami tidak mengantre sejak pagi. Fitri, cucu sulung Bu Hartuti yang bekerja di Jakarta, mendampingi kami ke Sabira, dan membantu pengurusan tiket. Dia mendaftarkan nama kami, dan berdiri di antrean sebelum loket dibuka.

Begitu tiba, kami langsung ikut bergabung dengan Fitri di antrean Jalur 3, yaitu Jalur Kaliadem -Pulau Kelapa-Pulau Sabira. Ada dua jalur antrean lain, yaitu pelayaran Kaliadem Muara Angke –  Pulau Tidung, dan pelayaran Kaliadem Muara Angke –  Pulau Pramuka.

Tepat pukul 8, loket dibuka. Kami bergerak maju, sesuai giliran. Saat berada di depan loket kami membayar dan menunjukkan tanda bukti diri. Biaya ke Pulau Sabira Rp74.000 (di tahun 2019, sekarang Rp84.000) sekali jalan.

Biasanya, jika bepergian saya membeli tiket pulang pergi. Saya agak cemas karena tidak bisa membeli tiket pulang. Namun untuk perjalanan ke Pulau Sabira ini saya harus membeli di sana. Pihak Dishub (Dinas Perhubungan) tidak menjual tiket pulang karena pelayaran sangat ditentukan oleh cuaca.

Sabira

Foto-foto oleh Librianti (Iyang), kecuali kalau ada keterangan khusus.

Di Kapal

Setelah mendapat tiket, kami pergi ke dermaga untuk naik kapal. Cuaca sangat terik. Untunglah saya membawa topi dan memakai kerudung yang membantu menangkal tusukan panasnya matahari.

Sejak tahun 2019 Dishub mengoperasikan pelayaran dari Jakarta ke Pulau Sabira dengan kapal jenis fiber yang dioperasikan dengan mesin, untuk menggantikan kapal tradisional kayu. Dengan kapal Dishub, perjalanan ke Sabira bisa ditempuh dalam waktu tiga jam, berbeda dengan kapal kayu yang perlu waktu tempuh sembilan jam.

Dalam seminggu kapal tiga kali berlayar dari Kali Adem ke Pulau Sabira (Senin, Rabu dan Sabtu), dan kembali ke Jakarta hari Selasa, Kamis dan Minggu.

Menjelang pukul 9, petugas memanggil penumpang satu per satu. Saya hanya membawa ransel dan tas tenteng, sehingga tidak repot ketika harus beberapa kali melompat dari dermaga ke dek kapal, dan dari dek ke lantai kapal.

Suasana di dalam kapal nyaman, sekalipun tanpa pendingin udara. Ketika kapal sudah melaju. angin sepoi-sepoi berembus dari jendela kanan dan kiri. Buih-buih saat kapal melaju membuat suasana menjadi adem.

Di setiap kursi ada pelampung berwarna oranye. Ketika kami duduk, pilihannya adalah memangku pelampung itu atau meletakkannya di dekat kaki.

Udara yang segar membuat kami bisa beristirahat dengan nyaman. Apalagi kursi dapat disandarkan ke belakang.

Selama tiga jam saya sempat tidur, juga mengobrol dengan Mbak Iyang sambil mengunyah camilan.

Kapal transit di Pulau Panggang. Ada penumpang turun di pulau itu, dan ada pula yang naik. Jumlah penumpang yang turun dan naik seimbang, sehingga kenyamanan tetap terjaga.

Dari jendela kapal saya melihat Pulau Panggang sudah banyak berubah dari kunjungan saya di tahun 2000-an.  Dulu Pulau Panggang kumuh, bahkan jamban pun belum tentu ada di setiap rumah. Kini Pulau Panggang terlihat segar dengan pagar dermaga  warna-warni.

Saya menjadi penasaran, bagaimana ya Pulau Sabira?

Sabira

Itu Sabira!

Akhirnya kapal tiba di Pulau Sabira, pulau di ujung utara Jakarta. Ucapan selamat datang terlihat di dermaga. Ada juga tugu Pulau Sabira. Dari dalam kapal saya melihat sebuah pulau yang bersih.

Sabira merupakan pulau mungil dengan luas 8,5 hektare, dan hanya merupakan satu kawasan RW (Rukun Warga) dengan tiga RT (Rukun Tetangga). Penduduknya sebagian besar merupakan keturunan Bugis.

Kami meninggalkan kapal, dan saya merasa tenang ketika mendapat info bahwa kapal motor akan menunggu di dermaga untuk membawa penumpang kembali ke Jakarta. Saya berdoa supaya bisa pulang sesuai rencana.

Memasuki permukiman Sabira, kami  melewati rumah-rumah panggung dari kayu. Sebagian rumah sudah berubah menjadi rumah bata, seperti rumah Bu Hartuti.

Kami menapaki jalan yang diperkeras dengan paving block. Sabira telah menjadi permukiman dengan tata rumah bergaya modern: ada jalan di antara rumah yang dibangun saling berhadapan.

Seorang penduduk awal Sabira, Pak Nurdin, mengatakan bahwa dulu di Pulau Sabira belum ada nama jalan, dan posisi rumah masih berantakan. Pak Nurdin adalah putra tetangga keluarga Johar. Dia baru berusia 10 tahun ketika dibawa orang tuanya ke Sabira.  Saya berkenalan dengan Pak Nurdin dalam perjalanan dari Sabira ke Jakarta.

 

 

Sabira

Lama & Modern

 

Kini di Sabira sudah ada nama jalan dari nama-nama ikan.“Ketika pemerintah turun tangan, ada penataan lingkungan,” kata Pak Nurdin. 

Tentang masa awal di Sabira, Bu Hartuti mengenang, “Dulu ketika kami baru pindah, kami tidur di tenda dekat pantai. Kami bergotong royong membangun rumah dengan dinding dan atap dari daun kelapa.”

Beberap saat kemudian mereka bersama-sama membangun rumah panggung dengan kayu-kayu yang tedampar di pantai. Lokasi pun berubah. Dari tepi pantai, penghuni pertama ini bergeser ke dalam pulau setelah membabat pepohonan di pulau itu.

Saat generasi awal Sabira membuka lahan, ada beberapa pohon yang tidak ditebang. Salah satunya adalah  pohon ketapang yang kini ada di depan rumah Bu Hartuti.

Ya akhirnya kami tiba di rumah keluarga Pak Johar-Bu Hartuti. Rumah itu terbuat dari bata bercat putih dan ada bagian yang dicat warna-warni.

Pada bagian depan rumah terdapar warung sembako yang dikelola oleh Bu Erna, salah satu putri Bu Hartini. Saya teringat, ketika mewawancara Bu Hartuti di Muara Kamal, saya melihat berkarung-karung beras di ruang tamu. “Ini untuk dibawa ke pulau,” katanya. Beras itu dikirim dengan kapal kayu dari Jakarta.

Rumah Bu Hartuti terasa sepi. Anak-anak Bu Hartuti sudah tinggal di rumah masing-masing di Pulau itu. Fitri, yang menemani kami dari Kaliadem, langsung ke rumah orang tuanya.

Kami ditempatkan di kamar depan yang mempunyai dua tempat tidur, masing-masing berukuran Queen dan single.  Kamar itu memang diperuntukkan bagi tamu yang menginap

 

Ikan, ikan, ikan

Siang itu kami dijamu dengan hidangan ikan kue pedas dan bakso ikan yang dimasak oleh Bu Erna. Baksonya adalah buatan tetangganya. Hmm nikmat sekali di saat lelah menyantap bakso ikan dan ikan kue pedas.

Kami makan hanya berdua di ruang tamu. Bu Erna sibuk di dapur. Di warung ada Pian, cucu Bu Hartuti dari putra bungsunya, Pak Ali Kurniawan. Pak Ali adalah ketua RW sejak 2017, menggantikan ibunya yang memegang jabatan itu sepeninggal suaminya di tahun 2012.

Di beberapa halaman rumah saya melihat alat panggangan. Menurut Pian, orang Sabira suka bakar-bakar ikan.

“Belum makan kalau belum ada ikan,” kata Bu Hartuti.

Setelah beristirahat, sore itu kami berkeliling Pulau Sabira ditemani Pian.

Saya bertanya kepada Pian untuk apakah palang-palang besi yang ada di tepi pantai itu.

“Oh itu alat penjemur ikan,” kata Pian.

Saya teringat pada cerita Bu Hartuti yang menggagas usaha ikan asin Pulau Sabira.  “Saya mendorong ibu-ibu untuk mengolah ikan asin, daripada bengong nunggu suami melaut. Semula ibu-ibu tidak mau karena takut kulit jadi gosong,” kata Hartuti. “Saya bilang, tidak apa gosong, yang penting kita bisa menambah penghasilan keluarga.”

Ikan asin dibuat dari ikan selar, dan punya daya jual lebih tinggi daripada ikan basah.

Menurut Bu Hartuti, olahan ikan asin Sabira termasuk kategori kualitas terbaik. “Fresh, karena baru diambil dari laut. Begitu datang langsung diberi garam, dibiarkan semalam, dicuci, lalu dijemur. Tidak ada bahan pengawet,” katanya.

Kini produk unggulan Pulau Sabira adalah kerupuk, ikan belah, ikan asin dan abon ikan. Bu Firsa  yang bersuamikan seorang nelayan pun mempunyai usaha abon ikan selar. “Tetapi sekarang sulit mendapatkan ikan selar,” katanya. “Musim kering yang panjang menyebabkan ikan selar sulit dicari.”  

Langkanya ikan selar menyebabkan produksi ikan asin juga turun. Saat saya di Sabira, saya mendapati tempat penjemuran ikan asin dalam keadaan kosong.  
Sabira

Hanya SD dan SMP

Sore itu saat berjalan-jalan di pulau, kami melewati SD-SMP Negeri Satu Atap, Sabira. Pian bersekolah di sana,

Di Sabira tidak ada SMA. Biasanya cucu Bu Hartuti melanjutkan SMA di Jakarta. Contohnya adalah Fitri, cucu pertama Bu Hartuti yang menemani kami dari Kaliadem. Setamat SMA Fitri kuliah di Sekolah Tinggi Perikanan, dan kini sudah lulus.  Saat ini Fitri bekerja di Suku Dinas Perindustrian dan Energi. Fitri ditugasi membina UKM di Pulau Kelapa.

Pian sendiri bercita-cita bekerja di kapal barang, dan masih belum menentukan pilihan apakah akan bersekolah di MAN (Madrasah Aliyah Negeri) di Jakarta atau di Sekolah Menengah Kejuruan yang sesuai dengan cita-citanya.

Sekarang cucu-cucu Bu Hartuti bisa mendapat pendidikan yang baik. Bagaimana dengan pendidikan anak di masa awal Sabira?

Pak Nurdin mengenang, dia belajar di rumah Haji Johar. Kebetulan anak keluarga Johar, Bu Firsa, seusia dengannya. “Haji Johar sendiri yang mengajar kami membaca dan menulis. Itu pendidikan formal yang saya peroleh. Selebihnya saya bersekolah di laut,” kata Pak Nurdin.

Kemudian Pak Johar membangun gedung sekolah dari dari papan-papan bekas kapal yang terdampar. Bangku dan meja dibuat oleh tetangga-tetangga yang juga ingin di pulau itu ada sekolah.

“Guru yang pertama ya Bapak, bila tidak melaut. Saya juga mengajar, bila Bapak ke laut. Kemudian ada warga juga yang mengajar,” kata Bu Hartuti.

Tahun 1985 sekolah itu sudah punya bangunan permanen. Peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Wiyogo. Tenaga pengajar berasal dari luar pulau.

Sore itu pun kami bertemu dengan guru-guru SD-SMP Satu Atap yang merupakan pendatang. Mereka tinggal di mess di kompleks sekolah. Mereka sosok muda yang berani ditempatkan di lokasi terpencil. Ya, berani. Seperti halnya Pak Johar dan Bu Hartuti.

 

 

Ketika Malaria Melanda

 Kami juga melewati Puskesmas Sabira. “Ada bidan dan perawat yang berjaga setiap hari, dan sebulan sekali Sudin Kesehatan berkunjung ke pulau,” kata Bu Hartuti. “Bila ada kasus-kasus yang perlu penanganan lanjut, pasien dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng.”

Seperti saat wawancara dilakukan, Bu Hartuti tengah melakukan pemeriksaan mata di RSUD Cengkareng. Pemeriksaan perlu beberapa kali, sehingga dia harus menginap di rumahnya di Muara Kamal. “Alhamdulillah hanya masalah kacamata, tidak perlu penanganan lebih lanjut.”

Di awal berdirinya kampung Sabira, penduduk lebih mempercayakan pengobatan pada dukun. “Kalau sakit, mereka pergi ke dukun,” kata Bu Hartuti.

Sekitar tahun 2000, terjadi wabah malaria. “Pasien-pasien bergeletakan di rumah-rumah. Mereka meminta pertolongan kepada kami,” kata Bu Hartuti. “Hari-hari itu kami sibuk membawa pasien ke Rumah Sakit Cengkareng. Perjalanan ke Jakarta perlu waktu 8-9 jam.”

Siti Aisyah, seorang kader Posyandu juga ikut sibuk pada waktu itu. “Alhamdulillah saya tidak sakit, jadi bisa membantu. Saya ikut mengantar ke rumah sakit naik kapal, menguruskan administrasi dan mendampingi tetangga-tetangga selama dirawat.”

Sejak adanya wabah malaria, masyarakat bersedia berobat ke Puskesmas.

 

 

Sabira

Terima kasih, Sabira!

Menjelang Magrib kami melihat anak-anak dan beberapa warga berjalan dengan memakai sarung dan mukena. Mereka menuju Masjid Nurul Bahri.

Semula masjid itu merupakan musala sederhana yang dibangun dari kayu-kayu perahu yang terdampar di pantai.

“Di tahun ’80-an kami membangun mesjid. Kami memakai batu bata kuno yang dibongkar dari sebuah sumur tua,” katanya. “Saya mengajak ibu-ibu membantu mengambil pasir untuk mesjid, juga membuatkan makan dan minum untuk para pekerja yang terdiri dari para tetangga.”

Saat itu ada guru mengaji dari Pulau  Genteng yang ikut pindah ke Sabira. Pak Ustad mengajarkan mengaji dan menjadi imam di masjid.

“Hari Jumat menjadi hari ibadah. Nelayan tidak melaut pada hari itu,” kata Bu Hartuti.

Malam itu kami makan malam di bawah tenda di depan rumah. Lauknya ikan tengek bakar. Bukan hanya keluarga besar Joharmansyah yang berkumpul, tetapi juga pegawai Dishub.

“Kami sering makan bersama-sama kalau mendapat ikan besar,” kata Erna.

Sifat guyub yang tidak hilang sejak Sabira didirikan.

Sifat kekeluargaan yang juga terlihat ketika saya dan Mbak Iyang akan pulang di hari Minggu. Bu Erna menemani kami di dermaga, dan memastikan kami bisa membeli tiket dan cuaca baik.

Kami pulang sesuai rencana waktu, membawa kenangan tentang keberanian menantang hidup di sebuah pulau.

 

Di Balik Cerita Sabira

Di cerita di atas saya menyebut beberapa nama. Penasaran dengan wajah mereka?

Narasi Perjalanan yang Lain

Sst … Ada Perlengkapan Kecil yang Sangat Penting

Toilet Spray!

Kalau bepergian saya selalu bawa ini.

Saya beli di Tokopedia

Sabira

Tentang Web Narasi

Pengisi Konten: Endah WS

Page Builder: Divi/Elegant Themes

Layout Pack: Writer

Font: Cutive Mono (Heading)/Ubuntu (Body Text)

N-EWS: Narasi Endah WS

 

N-EWS

× Hubungi saya