Kota-Kota Kenangan dalam Sajadah adalah judul desain sajadah untuk mengenang perjalanan keluarga kami, terutama Ibu. Sepanjang hidupnya, Ibu berpindah-pindah kota, mengikuti suaminya yang berdinas sebagai tentara. Hingga akhirnya Ibu berpindah ke kota-kota kecil, mengikuti anak-anaknya.
Perjalanan Ibu adalah perjalanan keluarga kami, termasuk saya. Seperti magnet, di mana pun Ibu berada, di sana kami berkumpul.
Kota-Kota Kenangan Ibu
Kota Banyumas
Ibu lahir di Banyumas, bersekolah di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Setelah itu Ibu ke Yogyakarta untuk bersekolah di Sekolah Guru Kepandaian Putri, lembaga pendidikan tempat Ibu belajar menjahit dan menyulam, di samping keterampilan keputrian yang lain, seperti memasak dan menata rumah. Seingat saya, Ibu pernah bercerita bahwa beliau mengajar di sekolah Katolik.
Ibu menikah di kota kelahirannya, ketika sepupu jauhnya, sekaligus tetangga, seorang duda dengan dua anak, melamarnya. Soekarsono, suaminya, seorang tentara yang kemudian membawanya berpindah-pindah kota, dan di setiap kota ada anak yang lahir.
Tiga Kota Jawa Timur
Dari Bayumas Ibu diajak Bapak pindah ke Bojonegoro Jawa Timur. Di kota ini lahir anak pertamanya, dan anak ketika dalam keluarga, Sri. Tiga tahun kemudian, Ibu dan Bapak hijrah ke Malang, menetap hingga empat tahunan, dan lahir tiga anak (Wiwik, Bambang, Eddy). Setelah itu keluarga Bapak berpindah ke Surabaya, yang menjadi kota kenangan kami. Di Surabaya lahir empat anak, termasuk saya. Cerita tentang rumah Surabaya saya tuangkan dalam sajadah berbeda, berjudul Raya Ketabang 27.
Kota-Kota Jabotabek
Dari Surabaya kami pindah ke Jakarta, tempat Bapak wafat pada tahun 1980. Di tahun 2000-an Ibu tinggal bersama Mbak Sri di Tangerang. Tahun 2004 Ibu dirawat di Bekasi, di rumah Mas Heru yang dokter. Saat itu Ibu dalam keadaan koma, dan ada sekitar sembilan hari menetap di Bekasi hingga mengembuskan napas di suatu pagi.
Kalau dianalogikan dengan penguasaan wilayah kerajaan di masa lalu, Ibu bersama pasukannya (baca: anak-anaknya) menguasai seluruh Pulau Jawa. Dari Jawa Tengah, Bapak dan Ibu melakukan ekspansi ke Jawa Timur, lalu ke Jawa bagian barat. Dari sebuah kota sederhana, mereka menduduki kota-kota terbesar di Jawa, yaitu Jakarta dan Surabaya.
Palet Warna
Kerudung berwarna biru turqoise menjadi warna utama dalam sajadah ini. Bentuk kerudung, termasuk bordir dipertahankan. Hanya salah satu ujung dipotong agar panjang sajadah menjadi 110 cm. Pulau-pulau saya bagi menjadi provinsi, dan masing-masing dengan tone warna krem hingga marun, sesuai petunjuk color wheel. Ada empat baju yang dipakai untuk penanda provinsi. Provinsi Jawa Barat memakai vuring agar ada bagian untuk istirahat mata.
Penanda kota yang ditinggali Ibu hingga memiliki rumah diberi mote biru, sedangkan kota-kota persinggahan (ditempati dalam jangka waktu agak lama, tetapi sifatnya menumpang), ditandai dengan mote hijau. Benang yang menunjukkan arah perpindahan saya pilih warna merah. Untuk bordir siluet Bapak dan Ibu berwarna putih.
Teknik Menjahit
Semula saya membuat peta perjalanan Ibu pada Google Map. Peta itu saya cetak menjadi 2 lembar ukuran A3. Ukuran ini saya perkiran dengan posisi peta kelak pada sajadah yang berukuran 70 x 110 cm.
Peta itu saya jiplak pada kertas tembus pandang. Setelah digunting per provinsi, kertas dilem pada bagian atas, mengenai bagian bawah kain. Saya menggunakan lem padat bermerek F, yang biasa dipakai untuk kertas. Lem ini akan larut di air ketika kain dicuci kelak.
Kain digunting mengikuti pola provinsi. Salah satu sisi dibuat lebih lebar agar kelak pada sambungan provinsi tidak ada jeda, tapi salah satu sisi menumpang pada yang lain.
Peta dijahit dengan mesin, model zigzag. Pinggiran peta tidak dikelim. Untuk jejak perjalanan Ibu juga dijahit dengan salah satu bentuk bordir di mesin.
Saya juga menempatkan sosok Bapak dan Ibu berupa siluet yang disulam dengan benang putih. Siluet ini digambar ulang dari foto Bapak dan ibu oleh anak saya, Bintang.
Alhamdulillah ….
Sewaktu saya menulis blog ini, sajadah peta belum selesai saya jahit. Perjalanan masih panjang. Mungkin baru 40% rampung. Satu prinsip yang sudah saya dapat: Buat sesimpel mungkin karena peta ini ada dalam sajadah. Karena itu, kelak tidak ada tulisan pada. Di samping itu, foto pun hanya siluet.