Apr 11, 2023 | Sajadah Ibu |
Kucing Ramadan – Saya membuat boneka kucing ini di tengah berbagai kesibukan, termasuk proyek sajadah Ecocraft.
Segalanya serba mendadak. Bermula ketika cucu saya, Al, diajak orang tuanya ke toko buku dan tertarik pada boneka. Anak dan menantu saya bilang, boneka itu terlalu mahal.
Duh nenek mana yang tega mendengar hal itu? Saya setuju untuk mendidik anak tidak impulsif. Tapi juga perlu dicari jalan keluar yang edukatif.
Maka saya pun terpikir membuat boneka kucing dari kaos bekas …..
Sesuai prinsip Ecocraft untuk sebisa mungkin menggunakan barang tidak terpakai, saya pun memilih kaus merah berlengan panjang yang tersimpan di salah satu boks kain saya. Menurut suami saya, kaus itu masih baru, dibeli tidak pernah dipakai karena kekecilan.
Saya suka dengan warna merahnya. Terlihat belum pudar, jadi kaus ini memang masih baru.
Inspirasi saya dapatkan dari Pinterest, yang kemudian saya kembangkan sendiri. Kucing itu akan tampak sedang berjalan, dengan mimik lucu.
Boneka tidak saya buat dalam ukuran besar karena kadang Al takut pada benda baru yang lebih besar daripada ukuran tubuhnya. Jadi ukuran panjang sekitar 30 cm, dan tinggi 20 cm.
Pola pada foto di bawah terlihat adanya lipatan. Ya, pola itu saya lipat karena saya khawatir pola kucing tidak proporsional. Namun menurut sahabat saya saat kuliah, Vitri, yang memiliki 30-an kucing, memang ada gambar kucing dengan tubuh memanjang seperti hotdog. Jadi oke saja gambar kucing yang saya buat.
Pola saya gunting lalu tempel pada kaus. Saya buat bentuk kucing dengan pensil jahit.
Setelah itu kain saya gunting mengikuti gambar yang saya buat. Karena kaus terdiri dari bagian depan dan belakang, guntingan pola langsung mengenai kain bawahnya. Jadi saya mendapatkan dua lembar pola kucing.
Sebelum menjahit tubuh kucing, saya menyulam bagian wajah. Agar mata tidak terlihat, kucing saya buat sedang memejamkan mata. Pada kucing pertama saya memakai benang putih untuk sulaman mata. Namun kok hasilnya terlihat cebleh. Apalagi karena pita untuk leher yang saya temukan adalah kuning. Karena itu pada kucing kedua dan ketiga saya memakai benang kuning untuk mata dan hidung.
Saat menjahit, saya menyisakan bagian samping dekat kepala untuk tempat mengisi dakron. Alhamdulillah mesin jahit bersahabat karena jarum sudah saya ganti dengan nomor 18, jarum khusus untuk bahan tebal.
Setelah semua bagian dijahit, kain saya gunting pada bagian cekungan-cekungan, lalu saya balik.
Pengisian dakron perlu cermat agar kaki dan telinga terisi penuh.
Lalu bagian tubuh tempat mengisi dakron saya jahit, dan agar bekas jahitan tangan terlihat rapi, saya tutup dengan pita.
Karena untuk bayi, saya sangat mementingkan masalah keamanan. Hal-hal yang saya jaga adalah:
1. Jahitan harus kuat. Saya menggunakan jahitan mesin agar boneka tidak mudah sobek. Bagian sisi yang saya jahit dengan tangan saya pastikan cukup kuat, dan kemudian saya tutup dengan pita.
2. Tidak ada unsur yang bisa dilepas. Karena itu saya tidak memasang kancing atau apa pun sebagai hiasan. Pita yang saya tempel juga saya jahit agar melekat pada tubuh kucing.
Pastinya penting untuk membahas bagaimana reaksi Al, sebagai end-user. Apalagi saya membuat boneka ini dengan asumsi dia ingin bermain boneka (kucing).
Boneka saya letakkan di ruang keluarga agar dia melihat ketika bangun. Namun dia menggeleng dan hanya menatap sekilas. Saat itu dia sedang rewel karena badannya agak panas.
Beberapa jam kemudian, saat dia bermain bersama sepupunya, Trisha di depan rumah, dia memegang boneka itu sambil tersenyum. Mengapa? Trisha memegang boneka yang sama. Ya, salah satu boneka saya berikan kepada Trisha yang tinggal di depan rumah kami.
Saya lega karena boneka itu pas dengan genggaman tangan mereka. Jadi boneka itu bisa jadi sarana untuk belajar menggenggam.
Meong ….
Apr 10, 2023 | Sajadah Ibu |
Bikin Sajadah Sikat Perca – Di tulisan ini saya akan bercerita tentang karya sajadah yang dibuat dari tekstil tidak terpakai. Sikat perca lebih dikenal dengan nama faux chenille.
Ada dua alasan mengapa saya membuat sajadah ini.
Pertama, saya ingin membuat proyek sajadah dari baju almarhumah ibu saya. Sebelum memulai proyek Sajadah Ibu, saya pastinya harus membuat uji coba terlebih dahulu. Jadi Sajadah Sikat Perca ini adalah uji coba sebelum memulai proyek sajadah handmade yang sesungguhnya.
Kedua, saya ingin mengembangkan sebuah wadah yang mengolah tekstil bekas menjadi barang lain. Dengan kata lain, memperpanjang usia kain agar tidak merusak tanah.
Pasti kenal ya dengan istilah “semestakung”, atau semesta mendukung. Demikianlah yang terjadi pada saya. Pada saat tersirat keinginan mengubah baju almarhumah Ibu menjadi sajadah, saya melihat iklan kursus faux chenille dari Threadapeutic. Wow, langsung saya mendaftar.
Bu Hana, pendiri Threadapeutic, langsung menjadi pengajar. Dari memilih kain hingga menyikat. Hanya proses menjadi yang dilakukan oleh stafnya.
Saya merasa bersyukur mendapat ilmu dari suhunya langsung.
Palet Warna Sajadah Sikat
Saat memulai Sajadah Sikat Perca, hal pertama yang terpikir adalah tentang palet warna gradasi biru hijau. Saya punya kimono biru, daster krem, sprei hijau dan hijau tai kuda (green teal), scarf biru dan teal green), dan aneka tekstil bekas dengan gradasi warna itu.
Prinsip saya, warna kuat diletakkan di tengah untuk sebagai fokus. Di sekitarnya adalah warna-warna yang lebih muda. Saya juga meletakkan ornamen bunga warna biru dan hijau yang saya gunting dari bantalan kursi.
Setelah membuat pola, saya menumpuk kain sebanyak lima lapis sesuai desain. Jadi, kain warna biru saya letakkan di bawah area biru, kain bernuansa warna krem atau hijau muda saya letakkan di area sajadah yang berwarna muda.
Proses berikutnya adalah menjahit panjang sejajar. Pada proses ini perlu mesin jahit heavy duty atau yang “bandel”. Jarum dan benang yang dipakai pun yang ditujukan untuk jahitan tebal.
Cukup berliku agar sajadah ini bisa terjahit karena pada waktu itu saya belum punya mesin jahit heavy duty. Tukang jahit jeans yang biasanya berkeliling di kompleks saya sedang pulang kampung. Penjahit laki menolak karena merasa tidak telaten. Alhamdulillah ada suami teman, berprofesi sebagai penjahit, mau membantu menjahitkan.
Setelah dijahit dilakukan pengguntingan di antar garis-garis jahitan. Harus hati-hati agar kain bagian bawah tidak tergunting. Namanya juga newbie, beberapa kali gunting saya menyobek bagian dasar itu. Jalan keluarnya ya ditisik hanya pada bagian sobekan.
Nah, ini tahapan yang paling seru. Sajadah ini akan memberi efek bulu apabila disikat. Tidak mudah, untuk saya yang tidakk bertenaga besar. Lengan sampai pegal melakukan sikatan agar bulu-bulu keluar.
Sikat yang dipakai cukup sikat kamar mandi. Pastinya saya beli baru ya. Menyikatnya berlawanan dengan arah serat agar bulu kain bisa keluar.
Konon air laut tidak boleh menggarami sendiri. Itu yang terjadi pada saya. Saya memuji karya sendiri. Ini “upah” yang saya berikan atas terwujudnya karya pertama sajadah bulu. Saya mengapresiasi diri sendiri agar semangat melanjutkan proyek berikutnya: sajadah dari baju almarhum Ibu. Juga proyek yang lebih besar: mengajak orang untuk memanfaatkan tekstil yang tidak terpakai di rumah menjadi benda bermanfaat.
Fantastik kan kalau kita bisa berpartisipasi menyelamatkan lingkungan.
Apr 8, 2023 | Sajadah Ibu |
Zig-zag adalah garis berulang berbentuk sudut tajam atau berulang.
Di dunia jahit, zig-zag merupakan penghias baju aneka warna. Zig-zag ini abadi tampaknya. Sejak saya kecil hingga sekarang, zig-zag masih ada.
Untuk mengenang salah satu perlengkapan jahit Ibu ketika masih aktif membuat jahitan, saya membuat sajadah dengan desain zig-zag.
Bagi yang baru membaca blog saya pada tulisan ini, maka cerita tentang proyek sajadah Ibu dapat dibaca di sini.
Ide awal desain sajadah zig-zag adalah ketika saya melihat salah satu kerudung Ibu yang sangat cantik. Kerudung itu berwarna turqoise dan marun.
Lebar kerudung 70 cm, sesuai dengan lebar sajadah yang biasa saya buat, yaitu 70×110 cm. Panjangnya kerudung 2 meter lebih sehingga harus dipotong agar sesuai dengan panjang sajadah yang saya inginkan, yaitu 110 cm.
Kerudung itu satu setel dengan tunik dan bawahan. Sederhana, namun manis.
Tanpa perlu mengubah banyak, kerudung itu sudah bisa dijadikan sajadah cantik. Namun jiwa saya tidak suka pada hal yang statis. Saya ingin melakukan aksi agar kerudung itu bisa lebih dinamis dan bicara.
Saya meniru desain crazy quilt, jahitan perca tambal tak beraturan yang dibuat oleh ibu-ibu yang bermigrasi awal ke Amerika. Berbeda dengan patchwork, crazy quilt dibuat “asal tempel”, tapi jadi sangat cantik.
Jadi kerudung turqoise ini dengan hati-hati saya gunting mengikuti bentuk zigzag.
Karena bahannya lembut dan motifnya indah, saya pun berhati-hati dalam memilih jenis sulaman, jarum dan benang.
Jarum saya pakai no 9, yaitu jarum berukuran kecil dan tidak akan merusak tekstur kain. Benang yang saya pakai bermerek DMC, dan saya hanya mengambil 2 utas untuk sekali jahit.
Zig-Zag
Teknik sulam zig-zag saya pakai untuk menyambung guntingan-guntingan. Saya memilih benang krem untuk sulaman ini.
Tusuk Sulam Ranting
Tusuk sulam ranting disebut juga tusuk bulu ayam atau feather stitch. Teknik ini kerap dipakai pada crazy quilting. Dengan teknik ini saya menghias bagian atas (area lengkungan).
Tusuk Sulam Lubang Kancing
Nama lain dari tusuk sulam lubang kancing adalah buttonhole stitch. Sulaman ini saya pakai pada sambungan kain pada area tengah.
Couching
Couching adalah teknik menyulam dengan menyusupkan benang pada tali atau benang. Ada dua couching pada sulaman ini.
Hiasan Pita
Hiasan pita (ribbon embellishment) adalah salah satu teknik dalam crazy quilting. Pada sajadah ini pita saya kerut-kerut dan sematkan pada area atas.
Apr 5, 2023 | Sajadah Ibu |
Kain perca kenangan adalah serpihan-serpihan yang begitu banyak dalam kehidupan keluarga kami. Ya, dulu ketika kami kecil, di ruang kerja Ibu terdapat bergunung-gunung bungkusan plastik berisi potongan-potongan kain. Kami menyebut potongan kain itu dengan pipian, bahasa Jawa untuk perca (Cerita tentang proyek sajadah berbasis lingkungan hidup, atau ecocraft, dapat dibaca di sini)
Pipian itu tidak boleh dibuang, namun juga tidak dimanfaatkan dengan optimal. Bisa dipahami. Pekerjaan Ibu sebagai penjahit sudah demikian banyak, jadi tidak sempatlah membuat karya dari perca kain.
Kenangan atas pipian itu saya ungkapkan dalam bentuk sajadah yang menggambarkan kehidupan kami, khususnya Ibu.
Sajadah saya bagi menjadi tiga bagian, masing-masing kurang lebih menempati 1/3 dari sisi yang memanjang. Pada area pertama terdapat lingkaran-lingkaran, sebagai simbol bungkusan-bungkusan plastik berisi pipian. Bagian kedua (tengah) menjadi simbol bagaimana bentangan kain utuh kelak akan menjadi pipian. Area ketiga merupakan pipian itu sendiri.
Palet Warna untuk Kain Perca
Warna yang saya pakai untuk sajadah ini adalah marun ke arah cokelat, dan jingga muda. Marun saya letakkan pada bagian bawah, Jingga bermotif bunga pada bagian tengah, dan jingga polos pada bagian atas.
Di balik kain marun saya susun perca baju Ibu dengan susunan memanjang, Biar terlihat rame seperti pipian. Jadi bila lapisan teratas digunting, lapisan rame di bawahnya akan terlihat.
Teknik Menjahit Perca
Ada tiga teknik menjahit yang saya pakai untuk sajadah ini.
Faux Chenille
Pertama adalah teknik faux cheniile yang saya pakai untuk bagian atas dan tengah. Faux chenille merupakan teknik mengeluarkan serat pada kain. Caranya dengan menjahit bersama lima tumpukan kain (tidak perlu utuh). Jahitannya dibuat sejajar berukuran kira-kira 1 cm. Setelah itu, dilakukan pengguntingan di antara jahitan sejajar. Terakhir, kain disikat hingga keluar seratnya.
Stitch and Slash
Teknik kedua adalah stitch and slash . yang saya letakkan pada bagian atas. Pada sajadah ini, saya memadukan teknik faux chenille dengan stitch and slash agar ada kesan bulatan-bulatan. Seperti faux chenille, pada teknik stitch and slash dilakukan jahitan pada tumpukan kain, dengan bentuk melingkar beberapa kali. Kemudian digunting, tanpa diikuti dengan penyikatan.
Fabric Slashing
Ketiga, teknik fabric slashing with twists untuk bagian bawah. Teknik ini dilakukan dengan menjahit tumpukan kain secara sejajar, dengan jarak lebar. Jahitannya memakai zigzag agar indah. Lalu digunting pada celah di antara jahitan. Setelah itu, pada posisi tegak lurus zigzag, dilakukan jahitan untuk menahan arah kain yang digunting.
Hiasan Perca dari Kulit
Dari Studio Hutz, lembaga kursus pembuatan kriya kulit, saya menerima potongan kulit sisa peserta kursus membuat tas. Potongan kulit itu biasanya dibuang begitu saja. Kebetulan ada warna jingga sisa kulit tas yang dibuat oleh seorang sahabat saya yang ikut kursus di sana. Di sajadah ini tampak manis kan, potongan kulit itu.
Alhamdulillah
Pada saat saya menulis blog ini, sajadah pipian tinggal diberi backing dan bisban. Tinggal sedikiiiit lagi, sudah jadi.
Apr 4, 2023 | Sajadah Ibu |
Kota-Kota Kenangan dalam Sajadah adalah judul desain sajadah untuk mengenang perjalanan keluarga kami, terutama Ibu. Sepanjang hidupnya, Ibu berpindah-pindah kota, mengikuti suaminya yang berdinas sebagai tentara. Hingga akhirnya Ibu berpindah ke kota-kota kecil, mengikuti anak-anaknya.
Perjalanan Ibu adalah perjalanan keluarga kami, termasuk saya. Seperti magnet, di mana pun Ibu berada, di sana kami berkumpul.
Kota-Kota Kenangan Ibu
Kota Banyumas
Ibu lahir di Banyumas, bersekolah di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Setelah itu Ibu ke Yogyakarta untuk bersekolah di Sekolah Guru Kepandaian Putri, lembaga pendidikan tempat Ibu belajar menjahit dan menyulam, di samping keterampilan keputrian yang lain, seperti memasak dan menata rumah. Seingat saya, Ibu pernah bercerita bahwa beliau mengajar di sekolah Katolik.
Ibu menikah di kota kelahirannya, ketika sepupu jauhnya, sekaligus tetangga, seorang duda dengan dua anak, melamarnya. Soekarsono, suaminya, seorang tentara yang kemudian membawanya berpindah-pindah kota, dan di setiap kota ada anak yang lahir.
Tiga Kota Jawa Timur
Dari Bayumas Ibu diajak Bapak pindah ke Bojonegoro Jawa Timur. Di kota ini lahir anak pertamanya, dan anak ketika dalam keluarga, Sri. Tiga tahun kemudian, Ibu dan Bapak hijrah ke Malang, menetap hingga empat tahunan, dan lahir tiga anak (Wiwik, Bambang, Eddy). Setelah itu keluarga Bapak berpindah ke Surabaya, yang menjadi kota kenangan kami. Di Surabaya lahir empat anak, termasuk saya. Cerita tentang rumah Surabaya saya tuangkan dalam sajadah berbeda, berjudul Raya Ketabang 27.
Kota-Kota Jabotabek
Dari Surabaya kami pindah ke Jakarta, tempat Bapak wafat pada tahun 1980. Di tahun 2000-an Ibu tinggal bersama Mbak Sri di Tangerang. Tahun 2004 Ibu dirawat di Bekasi, di rumah Mas Heru yang dokter. Saat itu Ibu dalam keadaan koma, dan ada sekitar sembilan hari menetap di Bekasi hingga mengembuskan napas di suatu pagi.
Kalau dianalogikan dengan penguasaan wilayah kerajaan di masa lalu, Ibu bersama pasukannya (baca: anak-anaknya) menguasai seluruh Pulau Jawa. Dari Jawa Tengah, Bapak dan Ibu melakukan ekspansi ke Jawa Timur, lalu ke Jawa bagian barat. Dari sebuah kota sederhana, mereka menduduki kota-kota terbesar di Jawa, yaitu Jakarta dan Surabaya.
Palet Warna
Kerudung berwarna biru turqoise menjadi warna utama dalam sajadah ini. Bentuk kerudung, termasuk bordir dipertahankan. Hanya salah satu ujung dipotong agar panjang sajadah menjadi 110 cm. Pulau-pulau saya bagi menjadi provinsi, dan masing-masing dengan tone warna krem hingga marun, sesuai petunjuk color wheel. Ada empat baju yang dipakai untuk penanda provinsi. Provinsi Jawa Barat memakai vuring agar ada bagian untuk istirahat mata.
Penanda kota yang ditinggali Ibu hingga memiliki rumah diberi mote biru, sedangkan kota-kota persinggahan (ditempati dalam jangka waktu agak lama, tetapi sifatnya menumpang), ditandai dengan mote hijau. Benang yang menunjukkan arah perpindahan saya pilih warna merah. Untuk bordir siluet Bapak dan Ibu berwarna putih.
Teknik Menjahit
Semula saya membuat peta perjalanan Ibu pada Google Map. Peta itu saya cetak menjadi 2 lembar ukuran A3. Ukuran ini saya perkiran dengan posisi peta kelak pada sajadah yang berukuran 70 x 110 cm.
Peta itu saya jiplak pada kertas tembus pandang. Setelah digunting per provinsi, kertas dilem pada bagian atas, mengenai bagian bawah kain. Saya menggunakan lem padat bermerek F, yang biasa dipakai untuk kertas. Lem ini akan larut di air ketika kain dicuci kelak.
Kain digunting mengikuti pola provinsi. Salah satu sisi dibuat lebih lebar agar kelak pada sambungan provinsi tidak ada jeda, tapi salah satu sisi menumpang pada yang lain.
Peta dijahit dengan mesin, model zigzag. Pinggiran peta tidak dikelim. Untuk jejak perjalanan Ibu juga dijahit dengan salah satu bentuk bordir di mesin.
Saya juga menempatkan sosok Bapak dan Ibu berupa siluet yang disulam dengan benang putih. Siluet ini digambar ulang dari foto Bapak dan ibu oleh anak saya, Bintang.
Alhamdulillah ….
Sewaktu saya menulis blog ini, sajadah peta belum selesai saya jahit. Perjalanan masih panjang. Mungkin baru 40% rampung. Satu prinsip yang sudah saya dapat: Buat sesimpel mungkin karena peta ini ada dalam sajadah. Karena itu, kelak tidak ada tulisan pada. Di samping itu, foto pun hanya siluet.
Apr 2, 2023 | Sajadah Ibu |
Ketika Malam Tiba (Bengi) adalah judul desain sajadah yang saya berikan untuk si biru. Ya, sajadah ini berwarna blue navy, untuk menggambarkan kegelapan, tetapi masih ada terang. Terutama karena ada sinar bulan.
Bengi adalah salah satu sajadah dalam proyek sajadah Ibu, yaitu kegiatan mengubah baju almarhum Ibu menjadi sajadah. Tema ini saya pilih karena ada hal menarik pada Ibu saat matahari sudah tergelincir, tepatnya ketika Bapak pulang kantor. Ibu mengakhiri kegiatan di ruang jahit Namun pikirannya pada pekerjaan sekaligus hobinya pasti masih berlangsung. Karena itu bagian atas saya gambarkan suasana yang sepi, dan bagian bawah suasana yang riuh dalam pikiran Ibu.
Palet Warna
Proyek Bengi berawal ketika saya melihat salah satu contoh di buku Layered Cloth karya Ann Small. Saya suka dengan paduan warna biru tua dengan jingga. Dari anak saya, Bintang, yang seorang pelukis, saya mendapat info bahwa van Gogh punya karya dengan tema malam dan paduan biru tua dan jingga, The Starry Night (Lihat di sini).
Setelah mengamati baju-baju Ibu, saya mendapatkan gaun berwarna biru tua, yang pas untuk total look sajadah. Agar ada kesan fluffy, saya memakai bahan mirip selimut yang diberikan oleh seorang donatur. Yang sulit ternyata bagian jingga karena saya tidak mendapatkan warna jingga terang pada koleksi baju Ibu. Jadi beberapa kali saya melakukan bongkar pasang mendapatkan warna jingga yang pas dari kain-kain saya.
Baju Ibu dengan warna jingga mengarah ke merah saya pakai untuk siluet rumah. Di samping rumah ada siluet pohon-pohonan berwarna ungu.
Teknik Menjahit
Ann Small menyebut teknik ini sebagai fabric manipulation (mengolah kain) dengan cara menumpuk, menggunting, dan mengulik kain untuk menghasilkan tekstur, warna dan desain artistik.
Teknik menjahit pada Bengi ada dua bagian, bagian atas dan bawah. Saya memakai prinsip The Rule of Third, sehingga perbandingan bagian atas dan bawah adalah 2:1.
Bagian Atas
Bagian atas sajadah memakai teknik menjahit faux chenille (Saya menjelaskan tentang faux chenille di sini.
Arah guntingan sengaja dibuat membelok tidak sejajar agar seperti angin, dengan berpusat pada bulan.
Biasanya saya memakai lima tumpuk kain untuk faux chenille. Namun karena di dalam tumpukan kain ini ada selimut, saya hanya menumpuk empat lembar. Pertama, pada lapis paling bawah (tapi bukan backing) saya letakkan kain polos bekas sprei. Di atasnya saya susun baju-baju Ibu dengan nuansa warna kuning. Pada lapis ketiga adalah kain polos nuansa hijau. Lapis keempat kain selimut berwarna biru. Pada gambar di bawah ini hanya lapis kedua dan ketiga yang saya tampilkan.
Bagian Bawah
Di area bawah saya memakai teknik slash and stitch (gunting dan tisik). Saya hanya mengikuti panduan dasar dari buku Ann Small, dan kembangkan sendiri. Agak lama pengerjaan bagian ini saat mencari desain yang cocok.
Barang Bagus
Barang bagus adalah sebutan untuk benda tidak terpakai yang saya manfaatkan dalam proyek sajadah ini. Ya, pastinya baju Ibu adalah barang bagus. Selain itu, ada hiasan dari dompet oleh-oleh dari Arab yang saya pikir cocok untuk sajadah ini.
Alhamdulillah ….
Sewaktu saya menulis blog ini, sajadah peta belum selesai saya jahit. Bisban keliling dan pelapis paling bawah belum dijahit. Meskipun demikian, saya lega karena desain dasar yang saya inginkan sudah tampak.