Di dalam perjalanan jauh, smartphone diperlukan untuk menunjukkan dokumen perjalanan, berkomunikasi dengan keluarga dan teman, untuk mendokumentasikan perjalanan.
Ada dua hal untuk menjaga ponsel âsiap tempurâ:
Pertama pastinya baterai harus tetap penuh. Di bus ada power supply yang terletak di rak tas. Namun letaknya cukup tinggi, setidaknya untuk saya yang tingginya 155 cm. Saya perlu naik ke kursi untuk mencapai rak itu. Tidak semua penumpang perempuan nyaman untuk berdiri di atas kursi, sehingga mereka minta tolong kepada penumpang lelaki untuk memasangkan charger ponsel ke power supply.
Ada restoran yang menyediakan booth untuk power supply, ada yang tidak. Kalaupun kita bisa ânyolokin HPâ, kita harus duduk di dekat power supply itu. Belum tentu kan kita beruntung mendapat tempat makan di dekat power supply. Biasanya meja di dekat power suppy menjadi incaran banyak penumpang yang butuh menambah daya HP.
Untuk mengatasi hal itu sebaiknya kita membawa power bank dengan daya penuh. Kapan pun kita perlu menambah daya baterai, kita bisa melakukannya dengan mudah.
Ponsel wajib memiliki internet. Kita perlu menunjukkan e-ticket dan sertifikat vaksin pada aplikasi Peduli Lindungi. Tindakan yang sat-set-sat-set sangat diperlukan ketika petugas menanyakan dokumen perjalanan kita, untuk menunjukkan bahwa dokumen perjalanan kita lengkap.
Aplikasi yang wajib ada di ponsel adalah Peduli Lindungi. Saat memasuki pelabuhan Ketapang (Banyuwangi) dan Gilimanuk (Bali), aplikasi Peduli Lindungi sebaiknya dalam keadaan terbuka agar terlihat sertifikat vaksin. Bisa juga sertifikat itu dibuatkan screenshot, sehingga kita tinggal membuka di galeri.
Aplikasi Traveloka atau agen penjual tiket mana pun perlu ada di ponsel agar kita bisa menunjukkan e-ticket. Tiket elektronik bisa juga dibawa dalam bentuk cetak. Namun saya cenderung menghindari bentuk cetakan karena kurang praktis dan mudah terselip. Di samping itu, saya mencoba menerapkan gaya hidup hijau dengan mengurangi sampah.
Di luar aplikasi wajib, saya punya aplikasi tambahan yang penting untuk saya, yaitu aplikasi peta Waze. Ini sangat pribadi dan terbentuk sejak kecil. Ketika saya kecil, kalau bepergian ke luar kota, ayah saya mengajari saja untuk membaca kilometer yang kami tempuh dengan memperhatikan batu bata kecil bercat putih di tepi jalan.
Kebiasaan itu menumbuhkan sense of control mengenai keberadaan saya saat bepergian.Â
Kini saya tidak perlu mengamati penanda km di tepi jalan. Dengan aplikasi Waze, saya bisamendapatkan data tentang waktu tiba, serta jarak dan waktu tempuh. Di tengah tol yang panjang, saya juga bisa tahu kami tengah melintasi kota atau desa apa. Sekalipun laut tidak terlihat, saya bisa tahu bahwa kami tengah menyisir pantai.
Dalam perjalanan ke Bali itu ada penumpang yang tahu saya aktif membuka Waze sehingga dia selalu bertanya tentang lokasi dan pergeseran jam kedatangan.
Waze saya matikan di saat saya tidur atau bila merasa sudah cukup mendapat informasi.