Kemandirian

Hi

Bantulah Aku Menolong Diriku

Nulla quis lorem ut libero malesuada feugiat. Donec rutrum congue leo eget malesuada. Vivamus magna justo, lacinia eget consectetur sed, convallis at tellus. Praesent sapien massa, convallis a pellentesque nec, egestas non nisi. Pellentesque in ipsum id orci porta dapibus. Donec sollicitudin molestie malesuada. Proin eget tortor risus. Nulla quis lorem ut libero malesuada feugiat. Sed porttitor lectus nibh. Nulla porttitor accumsan tincidunt. Mauris blandit aliquet elit, eget tincidunt nibh pulvinar a. Nulla porttitor accumsan tincidunt.

Praesent sapien massa, convallis a pellentesque nec, egestas non nisi. Vestibulum ac diam sit amet quam vehicula elementum sed sit amet dui. Sed porttitor lectus nibh. Mauris blandit aliquet elit, eget tincidunt nibh pulvinar a. Vivamus magna justo, lacinia eget consectetur sed, convallis at tellus. Pellentesque in ipsum id orci porta dapibus.

Donec rutrum congue leo eget malesuada. Pellentesque in ipsum id orci porta dapibus. Curabitur non nulla sit amet nisl tempus convallis quis ac lectus. Vivamus magna justo, lacinia eget consectetur sed, convallis at tellus. Nulla quis lorem ut libero malesuada feugiat.

My Philosophy

01

Sed porttitor lectus nibh

Vivamus magna justo, lacinia eget consectetur sed. Nulla quis lorem ut libero malesuada feugiat. Cras ultricies ligula sed.

02

Quisque velit nis pretium ut

Vivamus magna justo, lacinia eget consectetur sed. Nulla quis lorem ut libero malesuada feugiat. Cras ultricies ligula sed.

03

Pellentesque in ipsum id orci

Vivamus magna justo, lacinia eget consectetur sed. Nulla quis lorem ut libero malesuada feugiat. Cras ultricies ligula sed.

Your Content is Your Voice

Vivamus suscipit tortor eget felis porttitor volutpat. Mauris blandit aliquet elit, eget tincidunt nibh pulvinar a. Sed porttitor lectus nibh.

Generate Qualified Leads

Increase Email Subscribers

Grow Revenue

Let’s Chat

Nulla quis lorem ut libero malesuada.

Vestibulum ante ipsum primis.

Faucibus orci luctus et ultrices posuere.

Donec velit neque auctor sit.

city test

About San Francisco

Etiam quis blandit erat. Donec laoreet libero non metus volutpat consequat in vel metus. Sed non augue id felis pellentesque congue et vitae tellus. Donec ullamcorper libero nisl, nec blandit dolor tempus feugiat. Aenean neque felis, fringilla nec placerat eget, sollicitudin a sapien. Cras ut auctor elit. Curabitur fermentum nulla non justo aliquet, quis vehicula quam consequat. Duis ut hendrerit tellus, elementum lacinia elit. Maecenas at consectetur ex, vitae consequat augue. Vivamus eget dolor vel quam condimentum sodales. In bibendum odio urna, sit amet fermentum purus venenatis amet.

Donec ullamcorper libero nisl, nec blandit dolor tempus feugiat. Aenean neque felis, fringilla nec placerat eget, sollicitudin a sapien. Maecenas at consectetur ex, vitae consequat augue. Vivamus eget dolor vel quam condimentum sodales. In bibendum odio urna, sit amet fermentum purus venenatis a. Fusce vel egestas nisl. Etiam quis blandit erat. Donec laoreet libero non metus volutpat consequat in vel metus. Sed non augue id felis pellentesque congue et vitae tellus. Donec ullamcorper libero nisl, nec blandit dolor tempus feugiat. Aenean neque felis, fringilla nec placerat eget, sollicitudin a sapien. Cras ut auctor elit.

Population

Land Area

Year Founded

GDP

City Culture

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Donec sed finibus nisi, sed dictum eros. Quisque aliquet velit sit amet sem interdum faucibus. In feugiat aliquet mollis. Etiam tincidunt ligula ut hendrerit semper. Quisque luctus lectus non turpis bibendum posuere. Morbi tortor nibh, fringilla sed pretium sit amet, pharetra non ex. Fusce vel egestas nisl.

City of San Francisco

Main: (255) 352-6258

Clerk: (255) 352-6259

Fire Department: (255) 352-6260

City Hall

1234 Divi St. #1000, San Francisco, CA 94220

8am – 5pm daily

Mana Blok M-ku

Mana Blok M-ku

Mana Blok M-ku

 

Napak Tilas

Mana Blok M-ku?

Saat ini kalau ke Blok M, saya tidak bisa membayangkan di mana Blok M yang saya kenal ketika saya masih kecil.

Saya mengenal Blok M di tahun ’70-an, sebagai tempat rekreasi akhir pekan. Orang tua saya mengajak kami ke Blok M untuk mengunjungi dua toko. Anak-anak ke toko buku dan ibu saya ke toko kain. Kadang membeli sepatu di toko Bata.

Mobil Bapak diparkir di depan gedung, lalu kami masuk ke dalam. Sangat simpel. Seperti pergi ke Pasar Jaya mana pun. Ya, ketika itu Blok M masih di level Pasar Jaya, dengan bangunan dua lantai.

Kecil dan akrab. Begitu kecilnya Blok M, sehingga pengunjung menjadi “akrab”. Artinya, tahu apa yang terjadi di sana. Misalnya, kehadiran seorang ODGJ bernama Maryam Blok M,  dikenal dengan baik oleh warga Jakarta. Maryam senang berkeliaran di Blok M, dan mengganggu laki-laki muda. Kakak saya pun pernah diciumnya saat kami sekeluarga berjalan beriringan di depan kios-kios di Blok M.

Setelah saya SMA dan kuliah saya tidak ke Blok M. Bapak yang biasa mengajak keluarga berakhir pekan ke Blok M sudah wafat. Konsentrasi Ibu lebih pada biaya pendidikan, bukan ke pertokoan. Selain itu, karena kampus saya di Rawamangun, area main saya berubah. Saya membeli buku bekas di Senen dan buku baru di Gramedia Gajah Mada. 

Saya tidak mengikuti perkembangan Blok M menjadi Aldiron Plaza yang berlantai 5 di tahun 1978. Apalagi ketika Aldiron menjadi Blok M Square. 

Saya kembali ke Blok M setelah menikah dan bekerja untuk hal lain.

Pasaraya

Titik kumpul kami di Kolam Air Mancur, Pasaraya, sebelum melakukan perjalanan sejauh 1,5 kilometer selama 1,5 jam.

Hal yang mencengangkan saya adalah waktu tempuh yang superkilat dari rumah kami di Jagakarsa ke Pasaraya. Kami hanya perlu waktu 30 menit, berkat adanya tol Brigif Andara.

Namun dengan kenikmatan itu, tak membuat kami jadi kerap ke Pasaraya seperti dulu. Seingat saya, terakhir kali saya ke Pasaraya itu menjelang pandemi. Konter-konter sudah banyak berkurang, dan yang ada menawarkan diskon gede-gedean. Saya mendapat sepatu kulit dengan harga sangat miring waktu itu.

Sore itu pun dengan mudah kami mendapatkan parkir di basement. Begitu masuk lahan parkir, mobil langsung menemukan “singgasananya”, tanpa perlu belok dan berputar dari satu lantai parkir ke lantai berikutnya.

Kami tiba di Pasaraya 10 menit sebelum jam berkumpul. Sepertinya tadi di area air mancur belum ada yang datang. Cukup waktu untuk salat Ashar.

Tapi salat di mana? Terlalu jauh kalau ke Masjid ALatief, yang seingat saya ada di Lantai 5. Kami celingak-celinguk, namun tidak tampak petugas keamanan. Lahan parkir di basement itu sepi seperti kuburan. 

Suami saya mengajak saya masuk ke pintu mal. Tidak ada toko buka. Lebih tepatnya, sungguhkah masih ada toko yang aktif berjualan pada hari kerja? Dulu Pasaraya tidak pernah libur. 

Kami salat di bawah eskalator. Dalam kondisi normal, kami pasti sudah diusir, atau jadi viral. 

Sore itu kami berdua melihat kembali bingkai-bingkai masa lalu di Pasaraya. Mal ini cukup akrab bagi kami. Dalam setahun adalah enam kali kami ke sana. Membeli baju untuk momen khusus, barang kerajinan, sepatu, dan kebutuhan lain. Pasaraya juga menjadi tempat meetup bersama teman-teman. Bahkan suami saya mempunyai kenalan, bekas teman kantor,  “Kalau mengalami sesuatu di Blok M, hubungi saya. Atau bilang saja teman T.”

Pertemuan dengan T terjadi di kafe berlogo Eiffel. Ketika suami saya membayar, T  mengatakan sambil tertawa bahwa biasanya dia tidak bayar.

Kafe itu sudah tutup pastinya, begitu juga hampir semua toko di Pasaraya. Mal kenangan itu sudah menjadi kantor Gojek. Saya melihat logo besar Gojek di atap bangunan.  

 

Pasaraya

Titik kumpul kami di Kolam Air Mancur, Pasaraya, sebelum melakukan perjalanan sejauh 1,5 kilometer selama 1,5 jam.

Hal yang mencengangkan saya adalah waktu tempuh yang superkilat dari rumah kami di Jagakarsa ke Pasaraya. Kami hanya perlu waktu 30 menit, berkat adanya tol Brigif Andara.

Namun dengan kenikmatan itu, tak membuat kami jadi kerap ke Pasaraya seperti dulu. Seingat saya, terakhir kali saya ke Pasaraya itu menjelang pandemi. Konter-konter sudah banyak berkurang, dan yang ada menawarkan diskon gede-gedean. Saya mendapat sepatu kulit dengan harga sangat miring waktu itu.

Sore itu pun dengan mudah kami mendapatkan parkir di basement. Begitu masuk lahan parkir, mobil langsung menemukan “singgasananya”, tanpa perlu belok dan berputar dari satu lantai parkir ke lantai berikutnya.

Kami tiba di Pasaraya 10 menit sebelum jam berkumpul. Sepertinya tadi di area air mancur belum ada yang datang. Cukup waktu untuk salat Ashar.

Tapi salat di mana? Terlalu jauh kalau ke Masjid ALatief, yang seingat saya ada di Lantai 5. Kami celingak-celinguk, namun tidak tampak petugas keamanan. Lahan parkir di basement itu sepi seperti kuburan. 

Suami saya mengajak saya masuk ke pintu mal. Tidak ada toko buka. Lebih tepatnya, sungguhkah masih ada toko yang aktif berjualan pada hari kerja? Dulu Pasaraya tidak pernah libur. 

Kami salat di bawah eskalator. Dalam kondisi normal, kami pasti sudah diusir, atau jadi viral. 

Sore itu kami berdua melihat kembali bingkai-bingkai masa lalu di Pasaraya. Mal ini cukup akrab bagi kami. Dalam setahun adalah enam kali kami ke sana. Membeli baju untuk momen khusus, barang kerajinan, sepatu, dan kebutuhan lain. Pasaraya juga menjadi tempat meetup bersama teman-teman. Bahkan suami saya mempunyai kenalan, bekas teman kantor,  “Kalau mengalami sesuatu di Blok M, hubungi saya. Atau bilang saja teman T.”

Pertemuan dengan T terjadi di kafe berlogo Eiffel. Ketika suami saya membayar, T  mengatakan sambil tertawa bahwa biasanya dia tidak bayar.

Kafe itu sudah tutup pastinya, begitu juga hampir semua toko di Pasaraya. Mal kenangan itu sudah menjadi kantor Gojek. Saya melihat logo besar Gojek di atap bangunan.  

 

Pasaraya

Titik kumpul kami di Kolam Air Mancur, Pasaraya, sebelum melakukan perjalanan sejauh 1,5 kilometer selama 1,5 jam.

Hal yang mencengangkan saya adalah waktu tempuh yang superkilat dari rumah kami di Jagakarsa ke Pasaraya. Kami hanya perlu waktu 30 menit, berkat adanya tol Brigif Andara.

Namun dengan kenikmatan itu, tak membuat kami jadi kerap ke Pasaraya seperti dulu. Seingat saya, terakhir kali saya ke Pasaraya itu menjelang pandemi. Konter-konter sudah banyak berkurang, dan yang ada menawarkan diskon gede-gedean. Saya mendapat sepatu kulit dengan harga sangat miring waktu itu.

Sore itu pun dengan mudah kami mendapatkan parkir di basement. Begitu masuk lahan parkir, mobil langsung menemukan “singgasananya”, tanpa perlu belok dan berputar dari satu lantai parkir ke lantai berikutnya.

Kami tiba di Pasaraya 10 menit sebelum jam berkumpul. Sepertinya tadi di area air mancur belum ada yang datang. Cukup waktu untuk salat Ashar.

Tapi salat di mana? Terlalu jauh kalau ke Masjid ALatief, yang seingat saya ada di Lantai 5. Kami celingak-celinguk, namun tidak tampak petugas keamanan. Lahan parkir di basement itu sepi seperti kuburan. 

Suami saya mengajak saya masuk ke pintu mal. Tidak ada toko buka. Lebih tepatnya, sungguhkah masih ada toko yang aktif berjualan pada hari kerja? Dulu Pasaraya tidak pernah libur. 

Kami salat di bawah eskalator. Dalam kondisi normal, kami pasti sudah diusir, atau jadi viral. 

Sore itu kami berdua melihat kembali bingkai-bingkai masa lalu di Pasaraya. Mal ini cukup akrab bagi kami. Dalam setahun adalah enam kali kami ke sana. Membeli baju untuk momen khusus, barang kerajinan, sepatu, dan kebutuhan lain. Pasaraya juga menjadi tempat meetup bersama teman-teman. Bahkan suami saya mempunyai kenalan, bekas teman kantor,  “Kalau mengalami sesuatu di Blok M, hubungi saya. Atau bilang saja teman T.”

Pertemuan dengan T terjadi di kafe berlogo Eiffel. Ketika suami saya membayar, T  mengatakan sambil tertawa bahwa biasanya dia tidak bayar.

Kafe itu sudah tutup pastinya, begitu juga hampir semua toko di Pasaraya. Mal kenangan itu sudah menjadi kantor Gojek. Saya melihat logo besar Gojek di atap bangunan.  

 

Melawai, Dulu & Kini

Pengisi Konten: Endah WS

Page Builder: Divi/Elegant Themes

Layout Pack: City

Font: Cutive (Heading)/Ubuntu (Body Text)

Sajadah Sulam

Sajadah Sulam

Sajadah Sulam

10

MARET, 2023

Astronomy
Life
Society
Donec quam felis, ultricies nec, pellentesque eu, pretium quis, sem. Nulla consequat massa quis enim. Donec pede justo, fringilla vel, aliquet nec, vulputate eget, arcu. In enim justo, rhoncus ut, imperdiet a, venenatis vitae, justo. Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer tincidunt. Cras dapibus. Vivamus elementum semper nisi. Aenean vulputate eleifend tellus. Aenean leo ligula, porttitor eu, consequat vitae, eleifend ac, enim. Aliquam lorem ante, dapibus in, viverra quis, feugiat a, tellus. Phasellus viverra nulla ut metus varius laoreet. Quisque rutrum. Aenean imperdiet. Etiam ultricies nisi vel augue. Curabitur ullamcorper ultricies nisi.
I’m an Image Caption ready-to-use.
Photograph by Lorem Ipsum via Unsplash
In enim justo, rhoncus ut, imperdiet a, venenatis vitae, justo. Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer tincidunt. Cras dapibus. Vivamus elementum semper nisi. Aenean vulputate eleifend tellus. Aenean leo ligula, porttitor eu, consequat vitae, eleifend ac, enim. Aliquam lorem ante, dapibus in, viverra quis, feugiat a, tellus. Phasellus viverra nulla ut metus varius laoreet. Quisque rutrum. Aenean imperdiet. Etiam ultricies nisi vel augue. Etiam rhoncus. Maecenas tempus, tellus eget condimentum rhoncus.
“I’m a custom quote Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis leo fringilla mauris sit amet nibh”
Aenean imperdiet. Etiam ultricies nisi vel augue. Curabitur ullamcorper ultricies nisi. Nam eget dui. Etiam rhoncus. Maecenas tempus, tellus eget condimentum rhoncus, sem quam semper libero, sit amet adipiscing sem neque sed ipsum. Nam quam nunc, blandit vel, luctus pulvinar, hendrerit id, lorem. Maecenas nec odio et ante tincidunt tempus. Donec vitae sapien ut libero venenatis faucibus. Nullam quis ante. Etiam sit amet orci eget eros faucibus tincidunt. Duis leo. Sed fringilla mauris sit amet nibh.
I’m Another Standard Image Caption.
Photograph by Lorem Ipsum via Unsplash
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor. Aenean massa. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Donec quam felis, ultricies nec, pellentesque eu, pretium quis, sem. Nulla consequat massa quis enim. Donec pede justo, fringilla vel. Aliquet nec, vulputate eget, arcu. In enim justo, rhoncus ut, imperdiet a, venenatis vitae. I’m a Standard Link. Justo. Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer tincidunt. Cras dapibus. Vivamus elementum semper nisi.

Maecenas tempus, tellus eget condimentum rhoncus, sem quam semper libero, sit amet adipiscing sem neque sed ipsum. Nam quam nunc, blandit vel, luctus pulvinar, hendrerit id, lorem. Maecenas nec odio et ante tincidunt tempus. Donec vitae sapien ut libero venenatis faucibus. Nullam quis ante. Etiam sit amet orci eget eros faucibus tincidunt. Duis leo. Sed fringilla mauris sit amet nibh. Donec sodales sagittis magna. Sed consequat, leo eget bibendum sodales, augue velit cursus nunc,

Want new articles before they get published?
Subscribe to our Awesome Newsletter.

I Scream … Ice Cream!

N.E

I Scream… Ice Cream…!

I scream ice cream – adalah judul lagu jazz yang popuer di tahun ’20-an. Judul lengkapnya I Scream, You Scream, We All Scream for Ice Cream.   

Lagu gembira ini banyak dibuat cover oleh penyanyi-penyanyi, dan dalam perkembangannya menjadi lagu anak.

Lagunya ceria, seceria orang yang menikmati es krim. Yuk kita lihat asal-usul es krim.

Asal-Usul Es Krim

Coba tebak dari mana asal es krim? Mungkin kalau melihat bahasa-bahasa yang memiliki kata untuk benda berwujud beku ini, ada yang menebak bahwa es krim dari Barat. Ice cream (Inggris), gelato (Italia)

Es Krim Tropic

Kami hampir terlewat saat mencari restoran Tropical. Nama restorannya tidak ditulis pada  beranda luar yang terbaca dari jalan, seperti toko-toko lain.  Namun plang semu Es Krim Tropic ada di sepanjang jalan itu: semua orang yang kami tanya dengan sigap mengarahkan kami ke sana.

Nah itu dia plang Tropic Ice Cream Palace pada dinding kaca. Di teras ada dua pot besar tanaman dracaena massangeana atau yang disebut dengan Chinese Tree Money atau happy plant. Di bagian dalam pun tanaman ini ada lagi. Ya, mungkin ada maksud khusus dari pemilik restoran untuk menempatkan tanaman ini di sana.

Kesan pertama memasuki ruangan itu adalah: Wow spacious. Kalau kakek nenek pemburu nostalgia ini membawa cucu-cucu, pasti mereka akan gembira berlarian di ruangan itu. Ukuran ruangannya kira-kira 10 x 15 meter, memanjang ke dalam, dan jarak antarkelompok meja sekitar 2 meter. 

Es Krim Tropic
Es Krim Tropic

Foto: EWS.

Kiranti Tumbuh Ceria

Kiranti tak pernah mendelik di sudut ruangan. Memang ada kalanya dia menunjukkan wajah tak nyaman. Tapi karena Kiranti ekspresif, kami segera dapat melakukan tindakan.

Kiranti dapat mengontrol emosi, kecuali di seputaran hari-hari haidnya. Kalau dulu dia uring-uringan di sekolah lama, itu hanya karena komunikasi yang tidak klop. Kiranti tidak dapat menyatakan isi hatinya, dan para guru itu tidak paham. Ya, mereka bekerja dengan kurikulum dan sistem yang tidak ditujukan untuknya.

Kami pun memakai kurikulum dasar yang terlalu sulit bagi Kiranti ketika sudah sampai ke hal abstrak. Akan tetapi kami bisa “ngulik” sehingga dia paham tatabahasa dasar, matematika dasar, dan lingkungan sosial. Untuk hal terakhir ini, Kiranti adalah bintangnya. Bila ada teman sekelas berulang tahun, dia menulis ucapan di papan tulis. Dia juga membuat gambar-gambar untuk guru-guru yang membuat mereka tersanjung.

Sayangnya, Bunda tidak pernah tahu ketika Kiranti mulai naksir-naksiran dengan kakak kelas. Kenapa?

Baca kelanjutannya di sini. 

Narasi Pendidikan yang Lain

Surat untuk Hening

Surat untuk Hening

Surat untuk Hening adalah surat seorang pendidik terhadap seorang ABK yang menjadi pusat perhatian ibunya sehingga adiknya terabaikan.

read more

Web Narasi N.EWS

Menulis Narasi dengan Renyah & Lincah

 

Pengisi Konten: Endah WS

Page Builder: Divi/Elegant Themes

Layout Pack: Writer

Font: Cutive Mono (Heading)/Ubuntu (Body Text)

 

 

N.EWS

[Travel] Memasuki Kota Demak, Saya pun Bersenandung ‘Lir Ilir’

8 Langkah Ngebolang Jakarta-Denpasar

Naik Bus

ml

Saat menerima undangan pernikahan di Bali, saya mendapat ide untuk melakukan perjalanan naik bus Jakarta-Denpasar. Banyak yang terkejut dengan ide ini, dan menganggap saya aneh. Alhamdulillah suami saya mendukung, sekalipun saya akan melakukan solo journey. Kami sering melakukan perjalanan darat ke berbagai kota dengan mobil sendiri di Pulau Jawa, jadi suami saya ikhlas melepas saya karena dapat memperkirakan situasi jalan.

Ternyata perjalanan sepanjang 1.200 km itu tidak seperti yang saya dan suami saya bayangkan. Yah, namanya bertualang atau ngebolang, banyak kejutan yang saya dapatkan. Dengan pengalaman yang sudah saya dapatkan, saya merasa punya “modal pengetahuan” untuk jalan-jalan lewat darat.

Saya pun merangkum ilmu baru itu menjadi delapan langkah berpetualang dengan bahagia.

 

Langkah 1: Mempelajari Situasi

Langkah pertama yang saya lakukan adalah melihat reviu busmania di Youtube. Ada banyak reviu tentang bus kota Jakarta-Denpasar. Saya memperhatikan situasi di terminal keberangkatan, kebersihan bus, kenyamanan kursi, dan karakter pengemudi. Semua pemberi reviu memberikan informasi positif tentang keempat hal di atas. Ini membuat saya semakin bersemangat untuk bepergian dengan bus ke Denpasar.

Langkah 2: Membeli Tiket

Ada berbagai cara untuk membeli tiket bus. Bisa ke agen tiket bus, atau ke website perusahaan bus kota atau web penjualan tiket, seperti  easybook.com. Bisa juga membeli  melalui aplikasi.

Pilihan saya adalah yang terakhir, karena saya cukup familiar dengan Traveloka. Pada aplikasi Traveloka kita cukup mengklik ikon “bus & shuttle“, lalu memilih hari dan tanggal. Setelah mengklik, kita akan mendapatkan data tentang bus, terminal keberangkatan dan terminal kedatangan serta harga. Oh ya ada juga reviu tentang bus.

Saya memilih bus X yang berangkat pukul 12.30 dari Pulo Gebang dan tiba di Denpasar pukul 11.30 keesokan harinya. Dengan berangkat dan tiba di tengah hari, saya berharap menikmati banyak pemandangan kota-kota di Pulau Jawa.

Mengapa saya memilih Pulo Gebang? Jujur saya kepincut dengan reviu di Youtube yang menunjukkan Pulo Gebang itu semewah bandara. Wow … padahal di ingatan saya Pulo Gebang itu adalah tempat penimbunan sampah. Suami saya pun setuju untuk memilih Pulo Gebang. Karena lokasinya paling Timur daripada terminal-terminal lain, potensi kemacetan akan berkurang.

Langkah 3: Melengkapi Persyaratan Dokumen

Sebelum berangkat, kita perlu mempelajari syarat vaksin. Bila sudah melakukan vaksin booster, penumpang sudah memenuhi syarat bepergian. Bila baru menjalani Vaksin II atau vaksin I, perlu membawa surat pemeriksaan Antigen. Karena saya baru menjalani Vaksin II, saya pun ke klinik dekat rumah untuk pemeriksaan Antigen. Alhamdulillah hasilnya negatif.

Beberapa penumpang tidak membaca persyaratan ini, sehingga begitu tiba di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, mereka pun digiring ke sebuah klinik untuk menjalani vaksin Antigen. Biaya pemeriksaan di klinik pelabuhan hanya Rp40.000, jadi lebih murah daripada di Jakarta. Sekalipun demikian ada penumpang yang tidak siap uang, KTP, maupun data internet.

Di dalam perjalanan kita akan diminta menunjukkan KTP asli. Setelah menukar e-ticket dengan tiket kertas, kita akan memasuki checkpoint. Seorang petugas Dishub akan mengecek kecocokan data di tiket dengan data KTP.

KTP juga perlu kita tunjukkan lagi saat vaksin Antigen (bagi yang belum booster), dan saat melewati dua checkpoint di pelabuhan Gilimanuk, Bali.

Langkah 4: Menjaga Kesehatan

Sebelum menempuh perjalanan dengan bus kota, menjaga kesehatan adalah syarat utama. Kalau kita tidak sehat, maka kenikmatan perjalanan pasti akan terganggu.

Persiapan fisik saya lakukan seminggu sebelum perjalanan. Memang sih, kalau lebih panjang persiapannya akan lebih baik. Berhubung keputusan untuk naik bus ini datang hanya seminggu sebelum keberangkatan, saya pun melakukan  persiapan begitu tiket dipesan.

Hal-hal yang saya lakukan adalah

  • Berjalan kaki ke tempat kerja

Berhubung tempat kerja saya hanya berjarak 700 meter dari rumah, saya pun “mencari keringat” dengan berjalan kaki berangkat dari rumah ke tempat kerja, atau sebaliknya, dari tempat kerja ke rumah. Saya bukan orang yang taat berolahraga. Biasanya, ada saja alasan untuk naik kendaraan karena banyak berkas atau perlengkapan yang dibawa.

Mungkin pembaca ada yang berkomentar, “Lah, kalau jarak kantor saya berkilo-kilo meter bagaimana? Masa disuruh jalan kaki?” Sabaar … dicari cara sajalah untuk melatih otot-otot tubuh. Jangan menjadi victim dari keadaan kalau ingin sehat.

  •  Minum vitamin

Vitamin diperlukan untuk menambah imunitas. Ada kenalan yang suntik vitamin C sebelum perjalanan Jakarta-Bali dengan moda bus. Waduh, kalau saya lebih baik minum vitamin saja deh. Kebetulan saya memang minum vitamin D dan B Kompleks secara rutin untuk imunitas.

  • Menjaga pola tidur

Nah ini. Seperti biasa, kalau akan pergi lama, aka nada banyak pekerjaan yang mesti diselesaikan segera. Mau tidak mau ini mengganggu waktu tidur saya. Saya tetapkan untuk tidur cepat dan bangun pagi-pagi sebelum subuh untuk mengejar deadline.

Langkah 5: Menyimpan Peralatan Mandi di Tas Kecil

Perjalanan Jakarta-Denpasar memerlukan waktu minimal 17 jam (seperti tertera di tiket). Kenyataannya, waktu tempuh menjadi 30 jam, dan ada waktu empat jam untuk menunggu bus datang. Total 34 jam perjalanan yang kita habiskan.

Dalam rentang waktu sepanjang itu, pada kondisi normal, orang yang beragama Islam melaksanakan delapan kali salat. Namun karena ada kemudahan bagi musafir (orang yang melakukan perjalanan), kita bisa melakukan jama sehingga hanya ada empat kali salat yang kita lakukan (zuhur-ashar, magrib-Isya, subuh, zuhur-ashar). Agar kita bisa beribadah dengan baik, kita perlu menjaga kebersihan tubuh dan pakaian.

Dalam perjalanan ke Denpasar itu, saya melihat teman-teman seperjalanan yang berjilbab hanya duduk-duduk saja setelah makan siang. Saat saya tanya, jawaban mereka, “Lagi kotor.”

Seorang penumpang wanita juga mengeluh bahwa dia sudah tidak betah karena belum mandi di pagi hari.

Ini membuat saya berpikir sebaiknya kita menyimpan peralatan bebersih di dalam tas kecil yang disimpan di kabin.

Di bus ada rak tas terletak menempel pada langit-langit kendaraan. Tas besar/koper disimpan di bagasi, di perut mobil. Tas perlengkapan kebersihan pastinya tidak kita taruh di bagasi. Akan merepotkan kenek atau sopir apabila kita beberapa kali minta tolong diambilkan tas.

Apa isi tas kecil di kabin? Tergantung kebutuhan setiap orang, ya. Namun saya pikir yang pokok adalah pakaian ganti, pakaian dalam, handuk kecil, sikat gigi, odol, sabun serta toilet spray.

Oh ya jangan khawatir dengan kebersihan toilet. Dari semua toilet yang saya datangi cukup terjaga kebersihan dan aromanya.  Kloset, lantai, ember, pintu, lantai dan tempat sampah cukup bersih, bahkan ada yang kering. Saya menggunakan toilet di Terminal Pulo Gebang, Rumah Makan Singgalang Jaya Indramayu, Rumah Makan Utama di Madiun, Rumah Makan Prima di Pasir Putih, Situbondo, dan WC Umum di Pelabuhan Ketapang yang dijaga seorang ibu berkebaya. Ada toilet berbayar dan ada yang tidak berbayar. Kalau berbayar biayanya Rp2.000-Rp3.000, atau suka rela.

Langkah 6: Menjaga Ponsel Tetap On

Di dalam perjalanan jauh, smartphone  diperlukan untuk menunjukkan dokumen perjalanan, berkomunikasi dengan keluarga dan teman, untuk mendokumentasikan perjalanan.

Ada dua hal untuk menjaga ponsel “siap tempur”:

  • Baterai

Pertama pastinya baterai harus tetap penuh. Di bus ada power supply yang terletak di rak tas. Namun letaknya cukup tinggi, setidaknya untuk saya yang tingginya 155 cm. Saya perlu naik ke kursi untuk mencapai rak itu. Tidak semua penumpang perempuan nyaman untuk berdiri di atas kursi, sehingga mereka minta tolong kepada penumpang lelaki untuk memasangkan charger ponsel ke power supply.

Ada restoran yang menyediakan booth untuk power supply, ada yang tidak. Kalaupun kita bisa “nyolokin HP”, kita harus duduk di dekat power supply itu. Belum tentu kan kita beruntung mendapat tempat makan di dekat power supply. Biasanya meja di dekat power suppy menjadi incaran banyak penumpang yang butuh menambah daya HP.

Untuk mengatasi hal itu sebaiknya kita membawa power bank dengan daya penuh. Kapan pun kita perlu menambah daya baterai, kita bisa melakukannya dengan mudah.

 

  • Internet dan Aplikasi

Ponsel wajib memiliki internet. Kita perlu menunjukkan e-ticket dan sertifikat vaksin pada aplikasi Peduli Lindungi. Tindakan yang sat-set-sat-set sangat diperlukan ketika petugas menanyakan dokumen perjalanan kita, untuk menunjukkan bahwa dokumen perjalanan kita lengkap.

Aplikasi  yang wajib ada di ponsel adalah Peduli Lindungi. Saat memasuki pelabuhan Ketapang (Banyuwangi) dan Gilimanuk (Bali), aplikasi Peduli Lindungi sebaiknya dalam keadaan terbuka agar terlihat sertifikat vaksin. Bisa juga sertifikat itu dibuatkan screenshot, sehingga kita tinggal membuka di galeri.

Aplikasi Traveloka atau agen penjual tiket mana pun perlu ada di ponsel agar kita bisa menunjukkan e-ticket. Tiket elektronik bisa juga dibawa dalam bentuk cetak. Namun saya cenderung menghindari bentuk cetakan karena kurang praktis dan mudah terselip. Di samping itu, saya mencoba menerapkan gaya hidup hijau dengan mengurangi sampah.

Di luar aplikasi wajib, saya punya aplikasi tambahan yang penting untuk saya, yaitu aplikasi peta Waze. Ini sangat pribadi dan terbentuk sejak kecil. Ketika saya kecil, kalau bepergian ke luar kota, ayah saya mengajari saja untuk membaca kilometer yang kami tempuh dengan memperhatikan  batu bata kecil bercat putih di tepi jalan.

Kebiasaan itu menumbuhkan sense of control mengenai keberadaan saya saat bepergian. 

Kini saya tidak perlu mengamati penanda km di tepi jalan. Dengan aplikasi Waze, saya bisamendapatkan data tentang waktu tiba, serta jarak dan waktu tempuh. Di tengah tol yang panjang, saya juga bisa tahu kami tengah melintasi kota atau desa apa. Sekalipun laut tidak terlihat, saya bisa tahu bahwa kami tengah menyisir pantai.

Dalam perjalanan ke Bali itu ada penumpang yang tahu saya aktif membuka Waze sehingga dia selalu bertanya tentang lokasi dan pergeseran jam kedatangan.

Waze saya matikan di saat saya tidur atau bila merasa sudah cukup mendapat informasi.

Langkah 7: Membawa Penghangat

Dari reviu di Youtube saya mendapat info bahwa kita bisa kedinginan di bus. Sekalipun bus memberikan selimut, saya memperkirakan bahwa saya tidak akan nyaman memakai barang milik orang lain. Karena itu saya membawa baju hangat, dan slayer dari wool. Perlengkapan itu cukup membantu saya menutupi leher dan dada, dan menghangatkan kaki.

 

 

 

 

Langkah 8: Siap Belajar

Syarat untuk bahagia naik bus kota Jakarta-Denpasar, khususnya dengan perusahaan bus yang saya naiki, adalah be flexible.  Camkan pada diri bahwa kita sedang bertualang, dan dalam petualangan segala hal bisa terjadi. Jadilah gelas kosong.

Mengapa demikian?

Di tiket tertulis bahwa bus berangkat pukul 12.30. Ternyata, oh ternyata, dari jam ke jam bus tidak datang juga. Setiap kali datang armada bus dari perusahaan tersebut, saya dan penumpang lain ke luar, tetapi kami mendapatkan bahwa bus itu bukan ke Bali. Bus baru datang sekitar pukul 5.

Semula saya kesal dengan servis seperti ini. Saya merasa pihak bus kurang menghargai waktu penumpang. Apalagi tidak ada konter customer service untuk bertanya, ataupun nomor hotline. Sungguh berbeda dengan perusahaan penerbangan ataupun kereta api yang mengedepankan ketepatan waktu. Juga selalu ada permintaan maaf. Di perjalanan ini, tidak ada penjelasan apa pun dari pihak bus, apalagi permintaan maaf.

Lama-kelamaan saya berpikir, betapa ruginya saya kalau terus berkeluh kesah. Saya tidak bisa mengubah perusahaan bus, tapi saya punya kontrol terhadap diri saya. Saya sudah memilih perjalanan dengan bus, jadi saya harus menjalaninya dengan nikmat.

Saya mencoba memahami bahwa iklim di perusahaan bus bukanlah bisnis ala Barat yang sarat dengan ketepatan dan kaku. Perusahaan bus lebih mirip paguyuban yang lentur, dikendalikan oleh alam dan situasi, sekalipun berbayar.

Jadi ketika bus terlambat, calon penumpang perlu memahaminya sebagai hal yang wajar. Seorang penumpang mengatakan, “Siapa tahu sedang diperbaiki. Lebih baik terlambat namun aman.”

Penumpang lain berkomentar bahwa sudah biasa bus kota Jakarta-Denpasar menempuh waktu 24 jam.

Dalam perjalanan kemarin saya bertemu dengan  orang-orang yang sabar dan menerima segala keadaan.

Ya, ngebolang berarti bersinergi dengan gerak alam dan kehidupan.

Biaya Perjalanan

Biaya ini hanya gambaran kasar, karena bisa berbeda untuk setiap orang.

Tiket Jakarta Denpasar = Rp600.000

Air mineral + jajan = Rp50.000

Antigen (bila belum booster) = Rp40.000

Kamar kecil = Rp10.000

Total = Rp700.000

Siap berpetualang?

× Hubungi saya