Kala Mega Mendung di Resto Biru

Kala Mega Mendung di Resto Biru

Kala mega mendung di resto biru adalah suasana ketika kami –sekelompok teman kuliah seangkatan dan sejurusan– makan siang bersama di Nur Corner, Jalan Jenggala, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Cukup deg-degan awalnya, karena kami belum melakukan reservasi, padahal jumlah kami cukup besar, tujuh orang. Saya datang terlebih dahulu di antara teman-teman, dan sempat galau ketika pelayan mengatakan semua meja sudah terisi.

Pada pembahasan di grup WhatsApp terlontar untuk mencari tempat lain. Namun pada jam makan seperti  itu kemungkinan besar semua restoran juga penuh. Akhirnya diputuskan untuk sabar menunggu tamu lain pulang. Saya pribadi ingin tahu, seperti apa sih restoran Ibu Nurasia Uno, yang pernah mengaku tidak bisa memasak di unggahan Instagramnya.

Biru Putih

Pada website nurcorner.com, terlihat dominasi nuansa biru pada restoran itu. Biru menyiratkan kedamaian, keluasan, serta alam yang dingin, tinggi dan dalam, seperti laut dan langit. Saya berpikir, unik juga resto yang mengusung produk lokal memilih biru sebagai company color. 

Biru juga mengandung unsur kelabu. Itulah yang saya rasakan ketika tiba di Nur Corner. Saat itu hujan deras, dan kemacetan di Jalan Antasari membuat waktu tempuh lebih panjang. Saya datang bersamaan dengan tamu-tamu lain yang ingin makan siang. Padahal belum seorang pun di antara kami yang melakukan reservasi.

Galaunya perasaan saya mungkin sama dengan hiruk-pikuk kendaraan yang datang dan pergi di jalanan depan restoran. Halaman restoran tidak seluas yang saya bayangkan. Pagar dibuat menjorok ke dalam dan bagian luar dipakai untuk area parkir. Namun mobil pengunjung lebih banyak daripada daya tampung parkiran.

Wah ini berarti … kemungkinan mendapatkan meja semakin tipis. Ya, betul. Pramusaji lelaki yang masih belia mengatakan tidak ada meja untuk tujuh orang.

Saya pun berdiri menatap hujan, mobil yang datang pergi, dan orang yang keluar masuk. Sungguh lengkap haru biru saya.

Saya layangkan pandang ke sekeliling, dan akhirnya mafhum mengapa resto ini bernuansa biru. Batik mega mendung cirebonan tersebar di mana-mana. Para pramusaji mengenakan seragam dengan motif batik mega mendung. Di meja tamu-tamu tersaji buku menu dengan elemen mega mendung. Begitu juga dengan pembungkus sendok.

Sepertinya, busana Bu Nur Asia Uno juga banyak yang bermotif mega mendung, terutama sejak Pak Sandi menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Mungkin motif ini bermakna khusus untuk Bu Nur.

Dengan mengamati sekeliling resto, saya dapat mengalihkan perasaan biru kelam menjadi biru yang tenang  Mungkin juga karena saya sudah tenang, energi positif pun datang. Kami dipersilakan ke suatu sudut oleh seorang pramusaji. Tepatnya, Betsy, salah satu teman kuliah saya, berhasil mendapatkan satu sudut tempat duduk untuk bertujuh.

Bersih

Kesan bersih terasa karena penggunaan warna putih pada hampir semua bagian bangunan. Pagar, dInding, kusen dan pintu berwarna putih, dengan sedikit sentuhan biru. Furnitur juga ada yang bernuansa putih biru. Sofa yang kami duduki berwarna biru, menempel pada dinding putih yang dihiasi lukisan bunga minimalis.

Saya suka musalanya yang luas, mungkin dulunya master bedroom. Ruang salat ini bernuansa krem. Ada permadani besar yang hampir menutup seluruh  lantai. Pada bagian yang tidak tertutupi permadani, ada runner rug. Saya menduga rug ini adalah milik pribadi Bu Nur.

Di depan area musala ada wastafel biru dengan anggrek bulan putih. Saya mendapati petugas bapak-bapak berkali-kali mengelap area itu.

Sudut yang diperuntukkan bagi kami dilap terlebih dahulu oleh pramusaji, sebelum kami duduk di sana.

Setelah kami menyantap hidangan, pramusaji dengan cepat bertanya apakah piring yang kosong bisa diambil.

 

Ramah

Saya mendapat kesan bahwa Nur Corner adalah resto yang ramah ketika mengirim reservasi di pagi hari. “Mohon maaf sekali untuk reservasi kami maximal H-1 tidak bisa dihari yg sama. Untuk hari H bisa langsung go show saja ibu,” itu jawaban yang saya terima. terkesan ramah karena memberi solusi untuk dijalankan.

Ketika melapor bahwa kami akan menunggu meja kosong, staf Nur Corner pun menerima dengan baik. “Tapi tidak ada tempat menunggu ya, Bu,” kata mereka.

Pramusaji Nur Corner rata-rata masih muda. Mungkin berusia 20-an. Mereka gesit, dan melayani permintaan kami dengan baik dan cepat. Entah itu tambah makanan ataupun memotret. 

Resto Biru

Spicy

Sekarang kita bahas soal hidangannya.

Pramusaji dapat menjelaskan menu dan memberi rekomendasi bila kita tanya. Misalnya, ketika saya tanya minuman signatur di resto itu, pramusaji menunjukkan gambar Teh Nur Coner. “Teh pakai pandan,” katanya.

Karena lapar, saya pesan menu nasi. Saya tertarik pada Nasi Campur Bali. Di foto terlihat piring putih ditataki daun pisang. Hidangan yang tersaji adalah nasi putih, satai lilit, telur pindang, ayam,  ayam suwir, dan tumis singkong.

Setelah memesan makanan, saya salat. Ternyata ketika saya kembali, Nasi Bali sudah tersaji. Pesanan teman-teman pun sudah tiba, bahkan Betsy sudah menghabiskan bubur ayam. Penyajian di Nur Cafe ternyata GPL (Gak Pake Lama).

Pelan-pelan tumpeng Nasi Bali saya potong. Saya kunyah dengan telur pindang. Tekstur nasinya pas, dan telur pindangnya enak. Namun lauk yang lain terlalu tajam rasanya untuk saya, baik satai lilit, ayam suwir, maupun singkong tumis. 

“Ya, pastilah itu kan makanan Bali,” kata Anung, yang duduk di sebelah saya. Mungkin juga lidah saya menjadi lebih sensitif terhadap rasa. Saya merasa lebih bisa menerima seandainya ketajaman bumbu diturunkan dua level.

Saya pun “bertualang” mencicipi pesanan teman-teman, kecuali Bubur Ayam, karena sudah habis. Padahal Bubur Ayam ini diklaim terenak se-Asia Tenggara oleh Nur Corner. 

Saya merasa cocok dengan rasa soto Betawi milik Agung. Kuah santannya berbumbu sedang. 

Nasi Goreng Cumi pesanan Nining terlalu asin untuk saya. Nining pun mengatakan begitu, sehingga saya merasa lidah saya punya teman. 

Pelan-pelan saya menghabiskan Nasi Bali saya. Kami mengobrol dan tertawa, sehingga tidak terasa makanan di piring saya habis juga. 

Hujan reda. Makanan dan minuman habis. Kami pun berpisah. Saya melintasi lagi halaman yang basah, dan kursi biru di halaman. 

Hidangan di Nur Corner tidak sebiru lambangnya. Artinya, rasa yang dihadirkan pada beberapa sajian kurang “tenang”, alias terlalu spicy. Mungkin juga lidah saya yang ingin ketenangan. 

 

Berapa Rp?

(Sebagian Pesanan Kami)

Resto Biru
Makanan Kecil
  • Biterbalen Rp37.000
  • Singkong Keju Rp35.000
Resto Biru
Hidangan Utama
  • Soto Betawi Rp55.000
  • Nasi Campur Bali Rp90.000
  • Nasi Goreng Cumi Hitam Rp75.000
Resto Biru
Minuman
  • Teh Hangat Rp15.000
  • Nur Corner Tea Rp Rp35.000
  • Air Mineral Rp15.000
  • Americano Rp40.000

Kala Mega Mendung di Resto Biru

Pengisi Konten: Endah WS

Page Builder: Divi/Elegant Themes

Layout Pack: Food Bank

Font: Lora (Heading)/Default (Body Text)

Foto: Endah

Images:

Canva (@Sastramegaimages, Paramore, Satria, Marx Fidel)

 

Jakarta-Sukabumi Naik Kereta Api

Jakarta-Sukabumi Naik Kereta Api

Jakarta-Sukabumi Naik Kereta Api

Jakarta-Sukabumi naik kereta api! Ajakan Wiwied, sahabat saya ketika SMP, sangat menarik. Saya menikmati perjalanan naik kereta api, suara gesekan roda dan rel membangkitkan kenangan masa kecil ketika diajak mudik ke kampung Bapak Ibu di Banyumas, atau ke kota kelahiran Saya di Surabaya.

Saya belum pernah naik kereta api ke luar kota jarak dekat, kecuali Bogor (56 kilometer) dan Bekasi (28 kilometer). Namun kedua kota itu termasuk extension Jakarta, kan, dan kalau moda yang dipakai adalah Commuter Line rasanya belum ke luar kota. Kota-kota di Jawa Barat yang pernah saya datangi dengan kereta api adalah Cimahi (145 kilometer), Bandung (153 kilometer), dan Cirebon (221 kilometer). Jarak Jakarta-Sukabumi hanya 113 kilometer. Jadi saya menyambut ajakan Wiwied dengan penuh semangat. 

Wiwied juga mengajak teman-teman SMP lain yang tergabung di grup WhatsApp “Jalan-Jalan Bahagia”, dan terkumpullah empat peminat lain: Boy, Diah Lies, Yanti, dan Yuyun. Jadi enam pensiunan, kakek/nenek sekaligus pegiat jalan-jalan akan ngebolang naik kereta api  ke Sukabumi.

 

N.E

Sukabumi yang Saya Kenal

Istilah Sukabumi mengacu pada dua area, kota Sukabumi dan Kabupaten Sukabumi. Kota Sukabumi menjadi bagian dari Kabupaten Sukabumi, yang beribukotakan Palabuhanratu.

Baik kota maupun Kabupaten Sukabumi tidak saya kenal dengan baik. Ketika kecil saya pernah ke kota Sukabumi dua atau tiga kali, mengunjungi Bu Lik Mardi, adik Bapak yang bersuamikan pegawai PLN. Tapi saya juga tidak pasti, apakah yang saya datangi itu Sukabumi atau Cirebon, karena Pak Mardi kerap berpindah tugas antara kedua kota itu. 

Sahabat saya sewaktu saya menjadi jurnalis di majalah Femina juga berasal dari kota Sukabumi. Namun dari Dewi Anwari, nama sahabat saya itu, saya tidak mendapat gambaran tentang Sukabumi karena dia lebih banyak bercerita tentang Bandung, kota tempat dia kuliah. 

Atasan saya di Femina pun asli Sukabumi. Saat bekerja di Femina, saya hanya bicara dengan beliau soal pekerjaan. Setelah kami pensiun, kami sering berkirim chat. Pada waktu kasus tenggelamnya putra Ridwan Kamil di Sungai Aare, Swiss, Bu Widarti bercerita, “Saya anak gunung. Saya tahu sekali ulah sungai yang kadang-kadang suka murka. Karena itu saya melarang anak-anak arung jeram di sekitar Sukabumi.”

Saya pribadi tertarik pada sungai, karena sekolah yang saya kelola diapit tiga sungai kecil, yang membentang dari selatan (Bogor) ke utara (Laut Jawa).

Ayuk lah melihat sungai di Sukabumi!

Yuk, berangkat ke Sukabumi!

Keenam pejuang jalan-jalan pun naik Commuter Line dari Jakarta, dan berkumpul di Stasiun Bogor, tepatnya di depan minimarket A. Kami berencana naik KA Pangrango Eksekutif pukul 8.20.

Kami beruntung bisa naik dari Stasiun Bogor. Sebelum 1 Juni 2022, penumpang KA Pangrango harus naik dari Stasiun Bogor Paledang, yang berjarak 200 meter dari Stasiun Bogor. Jadi pengguna Commuter Line turun di Stasiun Bogor, lalu melintasi Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang menghubungkan Stasiun Bogor dan Stasiun Paledang.

Jembatan itu tidak membuat nyaman, kata teman yang pernah menaikinya. “Dari bahu jalan tidak tegak lurus, tapi serong, sehingga jaraknya makin panjang. Lebarnya juga sempit. Ketika jam sibuk, kita harus minggir. Hiiii,” katanya.

Syukurlah kali ini penumpang KA Pangrango tidak perlu lagi menyeberangi jembatan itu. JPO kira-kira berada di sebelah tenggara titik kumpul kami, di balik gedung bertuliskan Taman Topi.

Saya menjadi orang ketiga yang datang, sesudah Wiwied dan Yanti. Sambil mendengarkan Yanti bercerita, saya melayangkan pandang ke arah datangnya rel. Saya menatap bayangan gunung yang begitu jelas, seperti gambar yang saya buat ketika SD. Saya menduga itu adalah Gunung Pangrango, yang namanya dipakai sebagai nama kereta api yang kami tumpangi. Gunung itu terletak di tenggara stasiun, berjarak 44 km dari Bogor, dan berada di perbatasan Bogor Sukabumi.

Pagi itu Stasiun Bogor cukup ramai. Untuk mengurangi antrean di loket Stasiun Bogor, maka penjualan tiket Bogor-Sukabumi dilakukan melalui daring atau di Stasiun Paledang.

Kami sudah mempunyai tiket, yang dipesan Wiwied secara daring. Bahkan Wiwied sudah mencetaknya sebelum teman-temannya datang. Maklum Wiwied pernah bekerja di maskapai penerbangan, sehingga dia tahu bagaimana membuat teman-teman jalan-jalannya menjadi nyaman dan bahagia.

Saya terpukau melihat kedatangan kereta api putih dari arah selatan. “Itu Pangrango,” kata Wiwied.

Tak berapa lama kemudian Boy, Yuyun dan Diah muncul. Kami pun bergegas naik kereta.

Kereta Api Pangrango

Kesan pertama ketika masuk gerbong KA Pangrango adalah bersih dan terang. Warna joknya yang biru muda juga menimbulkan rasa adem. Posisi kursi berjajar, dan masing-masing bisa ditempati dua penumpang. Kursi dapat direbahkan seperti di pesawat terbang. 

Saya duduk di lajur kanan, bersama Yuyun. Di belakang kami Yanti dan Diah Lies. Wiwied dan Boy duduk di lajur kiri, masing-masing bersama penumpang lain.

Sebelum duduk, Yuyun bertanya apakah saya mau di dekat jendela atau lorong. Saya bilang di mana saja oke. Karena kami duduk di nomor ganjil, maka tidak masalah apakah akan duduk dekat jendela atau dekat lorong. Jendela di samping kami cukup lebar sehingga kami bisa melihat pemandangan keluar dengan jelas. Ada tirai untuk mengurangi terpaan sinar matahari.

Di bawah jendela ada colokan untuk menambah daya baterai ponsel, laptop serta tablet. Di pagi itu daya di baterai ponsel kami masing-masing masih penuh, jadi kami tidak menggunakan fasilitas itu.

Ada rak di langit-langit kereta untuk wadah tas. Kami masing-masing hanya membawa tas tangan yang kami letakkan di pangkuan. Percaya tidak, di dalam tas tangan kami ada makanan. Saya membawa pastel, Wiwied siap dengan roti manis, dan Yanti menawarkan timus. Cukup separuh anggota rombongan yang membawa bekal. Perut kami tidak cukup menampung bila semua membawa makanan. Itu yang membuat kami menolak ketika sepasang prama-pami menawarkan nasi goreng dan minuman.

Selain hidangan yang ditawarkan prama dan prami, penumpang juga bisa menikmati makanan di gerbong restorasi.  Sekelompok anak muda yang duduk di depan Boy sepertinya menghilang ke sana. Mereka duduk sebentar di gerbong kami, lalu tak terlihat lagi. Ide yang baik untuk menikmati kereta. Mengobrol di restorasi. Mungkin suatu saat akan kami lakukan.

 

 

Jakarta-Sukabumi Naik Kereta Api

Foto Iriyanti.

Kereta Api Siput

Sungguhkah kami akan mencoba ide anak-anak muda itu?

Hmm, saat kereta melaju, teman-teman mulai mengeluh karena kereta berjalan lamban. Saya cek di aplikasi Waze, kecepatannya sekitar 37 kilometer per jam, atau diklaim 40 kilometer pada situs KAI. Sungguh berbeda dengan Commuter Line yang kecepatannya bergradasi hingga mencapai 70 kilometer per jam, atau MRT Jakarta yang bisa 100 kilometer per jam.

Dengan kecepatan 40 kilometer per jam, kami seperti naik kereta siput. Boy yang mantan polisi bilang ingin menggantikan masinis supaya kereta bisa lebih cepat.

Wait …. Kereta Api Pangrango berada pada jalur mengitari Gunung Pangrango. Jadi ada banyak tanjakan dan lengkungan. Di situs ini saya menemukan bahwa kereta api perlu menurunkan kecepatan di tikungan agar tidak terlempar keluar rel akibat gaya sentrifugal dan sentripetal. 

Saya jadi penasaran pada gaya sentrifugal dan sentripetal. Karena tidak paham fisika, saya bertanya kepada salah seorang guru di sekolah saya yang berlatar belakang Pendidikan Fisika. 

Menurut Kak Tiara, panggilan di sekolah untuk bu guru ini, gaya sentrifugal adalah gaya yang mendorong ke arah luar lingkaran, sedangkan sentripetal adalah gaya yang menuju ke pusat lingkaran.

Jadi pada saat kami mengobrol di KA Pangrango. ada dua gaya yang ikut mengobrol, atau malah bertengkar ya. “Yang satu gayanya maunya ke arah luar lingkaran, yang satunya menahan agar tetap on track,” kata Kak Tiara. 

Pastinya pihak KAI sudah memperhitungkan hal ini agar penumpang tetap aman, bagaimana pun kondisi medannya. 

Jakarta-Sukabumi

Peta Google Maps.

Dari Jendela Kereta Api

Dari jendela, saya lebih banyak melihat kebun-kebun. Ini berbeda dengan perjalanan ke Jawa yang banyak melintasi persawahan. Saat itu kami sedang mengitari Gunung Pangrango kan, jadi yang tampak adalah pepohonan.

Wilayah yang subur itu membuat Sukabumi jadi incaran penjajah. Perkebunan teh dan kopi membuat mereka betah menggali hasil bumi Sukabumi. Saya teringat pada cerita Max Havelaar, yang ditulis oleh Multatuli, nama pena Edward Douwes Dekker, pada tahun 1860.  Judul lengkap Max Havelaar adalah Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij” (Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda). Latar cerita itu di Lebak, yang terletak di sebelah barat Kabupaten Sukabumi. Di cerita itu ada tokoh Saidjah dan Adinda, dua anak desa yang kehilangan kerbau kesayangan karena diambil pejabat distrik (pemerintah Belanda).

Berbeda dengan Lebak, catatan tentang Sukabumi tidak berupa cerita fiksi, tetapi dokumen nonfiksi dari dr Andries de Wilde di tahun 1815. De Wilde adalah pemilik perkebunan teh dan kopi di sana. De Wilde pula yang mengganti nama daerah itu dari Tjikole menjadi Soekaboemi, yang berarti tanah yang disukai.

Pagi itu di antara kebun-kebun rimbun ada sungai yang selalu mengikuti kami. Ya, di sisi kanan kereta ada Sungai Ci Sadane. Di daerah Cijeruk, sungai itu beralih ke sebelah kiri. Ci Sadane adalah salah satu sungai besar di Pasundan. Dengan panjang 126 kilometer, sungai ini berhulu di Gunung Pangrango dan bermuara ke Laut Jawa. Dari jendela kereta sungai itu tampak tenang. Apakah sungai ini pernah makan korban, seperti Sungai Aare di Swiss? Ya, pastinya. Kalau kita buka di internet akan muncul cerita-cerita korban tenggelam di Ci Sadane. 

“Sungai bisa murka,” kata Ibu Widarti, yang lahir dan besar di kota kecil dikitari gunung dan sungai. 

Jadi pengguna Kereta Api Pangrango, ada baiknya menghayati perjalanan melintasi gunung dan sungai. Alam mengajarkan kepada kita kehidupan yang pelan dan khusuk.

Jakarta-Sukabumi

Foto; EWS.

Narasi Perjalanan yang Lain

Win Meong dari Semarang

Win Meong dari Semarang

Saat ke Semarang bersama teman-teman kuliah, saya bertemu dengan seorang perempuan pemandu wisata yang luar biasa di Kota Lama.

read more

Web Narasi N.EWS

Menulis Narasi dengan Renyah & Lincah

 

Pengisi Konten: Endah WS

Page Builder: Divi/Elegant Themes

Layout Pack: Writer

Font: Cutive Mono (Heading)/Ubuntu (Body Text)

 

 

N.EWS

Booking Soerabaja Place Guest House di Traveloka

Booking Soerabaja Place Guest House di Traveloka

Booking Soerabaja Place Guest House di Traveloka

Keinginan untuk booking Soerabaja Place Guest House di Traveloka ini muncul, ketika saya mendengar kabar bahwa Afi, cucu kakak yang tinggal di Surabaya, akan menikah Oktober mendatang. Sekalipun belum menerima undangan, keinginan untuk hadir begitu kuat. Pernikahan Afi menjadi sebuah kesempatan untuk mewujudkan cita-cita lama untuk tidur di hotel itu.

Di samping itu, ada tiga alasan mengapa saya ingin ke Surabaya.

Pertama, saya ingin hubungan persaudaraan dengan keponakan dan cucu dalam keluarga besar tidak putus. Mbak Ul, kakak sulung saya sekaligus mbah Afi, sudah wafat. Begitu juga Mira, anak Mbak Ul dan ibu Afi. Kalau tidak mengupayakan untuk hadir pada momen khusus, saya khawatir lambat laun hubungan akan putus.

Kedua, saya ingin napak tilas masa kecil saya di Surabaya, dan mengajak suami dan anak-anak saya untuk mengenal kota kelahiran serta  rumah yang saya tinggali dulu di Raya Ketabang 27. Bahkan saya ingin menginap di sana, merasakan suasana rumah masa kecil.

Ketiga, saya ingin menulis biografi keluarga Soekarsono (nama ayah saya) agar anak cucu keluarga besar kelak tahu asal-usul mereka.

 

 

Menginap di Raya Ketabang 27

Menginap? Ya, rumah itu sudah menjadi Soerabaja Place Guest House (SPGH). Saya sudah mengecek aplikasi Traveloka, dan menemukan hotel itu di sana.

SPGH terletak di Jalan Jaksa Agung Soeprapto 27. Ketika saya kecil, jalan itu bernama Raya Ketabang 27. Ketabang adalah nama kelurahan dengan banyak peninggalan bangunan Belanda. Rasanya rumah kami pun termasuk bangunan kuno, kalau saya mengenang temboknya yang kokoh, dindingnya yang tinggi, dan lantainya yang bermotif bunga. Rumah itu bukan milik Bapak. Karena beliau berdinas di Angkatan Darat, kami bisa menempati rumah itu.

Ketabang berlokasi di daerah strategis Kecamatan Genteng,  yang merupakan titik pusat Pemerintahan Kota Surabaya. Sekitar 200 meter dari Rumah Ketabang (sebutan kami untuk rumah masa kecil itu) ke arah tenggara terdapat gedung Balaikota Surabaya. Gedung itu menjadi kantor walikota Surabaya, termasuk Bu Risma, walikota Surabaya di tahun 2000-an. Ketika saya kecil, walikota Surabaya adalah Soekotjo. Bapak Ibu sering mengucapkan nama Pak Kotjo dalam pembicaraan mereka.

Kantor walikota itu dulu kami sebut dengan Kotapraja. Di depan Kotapraja ada alun-alun, seperti layaknya tata kota pemerintahan peninggalan Belanda. Menurut Wikipedia, gedung itu didirikan tahun 1921 pada masa walikota Surabaya yang ke-2, G.J. Dijkerman. Di website Situsbudaya.id disebutkan bahwa “Di tangan Tri Rismaharini, walikota wanita pertama Surabaya, gedung Balaikota Surabaya menjadi asri. Halaman depan dari gedung Balaikota ini, dibuat taman-taman yang menghijau yang tepat di tengah halaman depan terdapat air mancur.”

Oh, tidak. Selagi saya kecil, di masa Walikota Soekotjo, alun-alun itu sudah asri. Ada rumput hijau, pohon kana, dan air mancur. Ya, setiap hari saya melintasi alun-alun itu, dalam perjalanan ke TK Sedep Malem yang terletak di tepian barat Kotapraja.

Ketika saya ke Surabaya di masa dewasa, sebelum masa jabatan Bu Risma, alun-alun itu tetap menjadi area hijau yang menyenangkan. Oh ya, saat itu rumah yang menjadi TK Sedep Malem sudah menjadi kantor notaris.

Rumah Ketabang
Rumah Ketabang

Street view SPGH (Foto: Google Maps) dan Rumah Ketabang (Gambar: Bambang Hudyanto).

Yang Berubah dan yang Tetap

Banyak yang sudah berubah di Ketabang, terutama rumah masa kecil kami. Ketika saya membuka Traveloka, dan mengeklik Soerabaja Place Guest House, saya tidak mengenali bahwa guest house itu adalah Rumah Ketabang. Catnya hijau muda, membuat bangunan itu tidak semegah rumah kami dulu, yang hanya bercat putih dan kusen berwarna krem. Dinding rendah berlapis batu hitam pada teras sudah tidak ada. Pada dinding rendah itu saya kerap didudukkan pengasuh saya, bila mereka kelelahan menggendong.

Yang saya sebut pengasuh adalah sepupu dan keponakan yang tinggal di rumah kami. Dengan luas  tanah 1.500 meter persegi, dan luas bangunan 600 meter persegi, Rumah Ketabang cukup lega untuk dihuni keluarga dengan 10 anak dan saudara-saudara dari kampung. Gadis-gadis dan pemuda-pemuda dari keluarga Bapak maupun Ibu datang ke Surabaya untuk kuliah, bekerja atau sekadar mencari pengalaman.

Kehadiran kerabat perempuan dari kampung, Dik Min, Nak Titi, Yu Darmi, dan Yu Tatah, sangat berarti bagi ibu saya. Ibu dapat menitipkan saya, si anak ke-9 yang masih balita, selagi beliau sibuk dengan  urusan organisasi istri prajurit atau jahitan.

Meskipun Ibu adalah istri priyayi, sebutan untuk pegawai pemerintah, Ibu punya usaha kecil-kecilan di rumah. Ibu pandai mengambil hati Bapak untuk mendukung hobi menjahitnya. Paviliun di sisi selatan rumah dipakai untuk kegiatan menjahit Ibu. Dulu ada papan nama “Modes Widuri” ditempel di beranda paviliun.

Paviliun itu masih tampak di foto Traveloka. Bedanya, beranda sudah hilang, dan pintu masuk ada di sisi kiri dinding, bukan di tengah. 

Pada foto Traveloka terlihat pohon  mangga di depan paviliun. Percaya tidak, pohon itu ditanam oleh kakak saya, Mas Bambang. Dia tanpa sengaja membuang pelok (biji mangga) di depan paviliun. Pohon yang bijinya berasal dari mangga yang dibeli Ibu di Pasar Genteng itu tumbuh dan makin besar. Kini pohon itu terlihat tua, dengan batang menabrak plafon sehinga dibuatkan lubang khusus.

Menjamah Rumah Ketabang

Tampak depan SPGH. Ada pohon mangga di sebelah kanan. Foto: Traveloka.

Rumah Renovasi vs Rumah Asli

Dibanding saya, Mas Bambang, anak ke-5, punya kenangan lebih kuat tentang rumah itu. Saya berada di Ketabang hingga usia 7 tahun, sedangkan Mas Bambang berada di sana sampai usia 15-an.

Di masa dewasanya Mas Bambang berprofesi sebagai arsitek. Dia membantu saya “menerjemahkan” foto-foto ruangan SPGH ke situasi ketika kami tinggal di sana. Saat melihat penampilan SPGH di website Traveloka saya tidak bisa menduga ruangan apakah yang tampak pada foto.

“Kalau mau melihat rumah asli Ketabang, lihat rumah Bu Sri,” kata Mas Bambang. Dia mengambilkan foto dari Google Maps, dan tampaklah bangunan hotel dan rumah Bu Sri. Saya tidak pernah mendengar Ibu bercerita tentang Bu Sri, ataupun mengajak saya ke rumahnya. Saya hanya tahu bahwa putra Bu Sri adalah pemain gokart.

Apakah keluarga Bu Sri masih menempati rumah itu? Pertanyaan yang sulit dijawab. Lagi pula untuk apa? Mungkin kalau pemain gokart itu masih ada, atau cucu Bu Sri yang tinggal di sana, saya ingin berkenalan sebagai mantan tetangga dan penikmat heritage.  Saya akan sampaikan bahwa dengan mempertahankan arsitektur lama, keluarga itu memberi kontribusi besar pada heritage Surabaya.

Dengan adanya rumah Bu Sri, saya bisa melihat jelas perbandingan antara bangunan asli Ketabang dan bangunan modern SPGH. Perbedaan utama adalah pada ketinggian atap. SPGH tampak lebih rendah. Menurut Mas Bambang, atap yang rendah itu untuk menghemat biaya pembangunan, dan menyesuaikan dengan trend sekarang.

 

Menjamah Rumah Ketabang

Perbandingan tinggi atap SPGH dan rumah asli Ketabang. Foto: Google Maps.

Perbedaan Tata Letak

Penataan SPGH sudah berubah dari Rumah Ketabang. Ini yang membuat saya bingung untuk memahami foto ruangan di Traveloka. Mas Bambang pun membuatkan denah untuk membandingkan rumah lama dan bangunan baru.

Teras Rumah Ketabang telah diperkecil. Pintu masuk pun dipindah ke samping, dekat paviliun. Ruang tamu dan ruang makan menjadi lounge dan reception. Hal yang membuat nuansa berbeda adalah  hilangnya ubin berukuran 20 x 20 sentimeter bermotif bunga. Menurut Mas Bambang, nama ubin itu adalah PC atau Portland Cement. Lazim juga disebut ubin kepala basah.  Ubin semacam itu saya dapati di rumah-rumah kuno, seperti rumah R.A. Kartini di Rembang. Kini ubin di SPGH berupa keramik mengilap.

Penempatan kamar-kamar SPGH masih seperti Rumah Ketabang. Kamar Mas Bambang dan Mas Eddy (anak ke-6) yang bersisian dengan ruang tamu masih ada. Waktu itu Mas Bambang dan Mas Eddy mempunyai kamar sendiri, karena sudah beranjak remaja.

Pada Rumah Ketabang ruang tidur utama berdampingan dengan ruang makan. Di ruang itu saya dan kedua kakak saya, Mas Toto dan Mas Heru, tidur dalam satu ranjang besi yang besar berkelambu. Mas Toto adalah anak ke-7, dan Mas Toto anak ke-8. Usia kami terpaut dua tahunan. 

Ranjang kami menempel di dinding utara. Di seberang tempat tidur kami ada tempat tidur single tanpa kelambu tempat Dik Yoyok, si bungsu, dikeloni Ibu. Di sebelahnya, ada tempat tidur single berkelambu punya Bapak.

Bila saya terbangun di malam hari, saya seperti melihat wajah-wajah menempel di kelambu. Menyeramkan. Namun saya pejamkan mata erat-erat supaya saya cepat tidur. 

Pastinya kamar itu tidak spooky lagi sekarang. Di dalam foto-foto Traveloka kamar SPGH terlihat terang dan modern. Di Booking.com disebutkan bahwa ukuran semua kamar SPGH adalah 12 meter persegi, atau standard room. Menjadi pertanyaan bagi saya apakah master room yang luas itu dibagi menjadi dua kamar. Semoga saya ada kesempatan tidur di kamar itu kalau menginap di SPGH. 

 

Rumah Ketabang
Rumah Ketabang

Denah Rumah Ketabang (atas) dan SPGH (bawah). Gambar: Bambang Hudyanto.

Area Belakang

Dulu antara rumah induk dan kamar-kamar di belakang ada halaman tempat parkir bemo dan becak, dan lalu lalang mobil yang ditempatkan di garasi dalam.

Becak adalah salah satu tempat bermain saya. Di sore hari saya duduk-duduk di sana, setelah Pak Tin pulang menarik becak. Istri Pak Tin, Mbok Nah, bertugs sebagai pengasuh utama saya. Begitu seringnya saya bersama Pak Tin dan Mbok Nah, saya mendapat ejekan sebagai anak Mbok Nah. Tidak salah, sih. Mbok Nah adalah “ibu angkat” yang memahami saya. Kalau saya malas makan, dia membolehkan saya makan nasi hanya berlauk garam. Pastinya saya makan diam-diam di area belakang, tidak di meja makan. Mbok Nah baru meninggalkan saya untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, bila salah satu saudara perempuan membawa saya bermain di teras.

Area belakang itu sekarang menjadi patio, yang memanjang dari utara ke selatan, dengan atap transparan. Kamar-kamar di area belakang masih dipertahankan, dan dibuat bertingkat. Ketika saya kecil, ketiga kamar itu dihuni oleh Mbak Sri (kakak ketiga), Mbak Wik (kakak keempat), dan saudara yang menumpang.  Kakak sulung (Mbak Ul) serta kakak kedua (Mbak Mar) sudah menikah dan punya rumah sendiri.

Kalau saya menghadiri pernikahan Afi kelak, saya akan mengajaknya ke SPGH untuk melihat bekas kamar neneknya ketika masih gadis. Kamar itu ada di deretan tiga kamar area belakang. Saya akan ceritakan bahwa Mbah Ul pernah naik atap kamarnya ketika ngambek. Saya dapatkan cerita itu dari Ibu ketika saya kecil, dan saya melihatnya sebagai sikap yang heroik.

 

Rumah Ketabang
Rumah Ketabang

Halaman belakang Rumah Ketabang (atas, gambar: Bambang Hudyanto), yang berubah menjadi area patio (bawah, foto: Traveloka).

Tinggal Kenangan

Kamar mandi dan WC (saya dulu menyebutnya “mbese”) di area belakang sudah menjadi ruang duduk SPGH. Di kamar mandi itu terdapat kolam super besar yang panjangnya selebar rentangan tangan orang dewasa. Mbese di ruang sebelahnya, berupa  toilet duduk dengan reservoar menempel di dinding yang tingginya di atas kepala Mbok Nah. Ada rantai panjang untuk menarik tuas pengguyur. Suara gemuruh terdengar bila rantai ditarik. Saya melihat toilet semacam ini di rumah RA Kartini di Rembang.

Meskipun pergi ke mbese menjadi hal yang kurang menyenangkan, caregiver team saya –Mbok Nah atau saudara-saudara yang perempuan– siap mengurangi ketidaknyamanan saya.

Saya berada di rumah kenangan itu sampai kelas 1 SD, sebelum akhirnya Bapak pindah ke Jakarta tahun 1969. Kami semua ikut, kecuali kakak-kakak saya yang sudah menikah atau kuliah di Surabaya.

Meskipun hanya tujuh tahun berada di rumah itu, saya merasa Rumah Ketabang adalah sebuah kosmos yang memperkenalkan saya pada banyak hal: kehangatan keluarga, kemandirian seorang perempuan, tanggung jawab seorang ayah, dan kehidupan saling berbagi.

Mas Bambang bilang bahwa dia pernah berangan-angan membeli Rumah Ketabang. “Alhamdulillah terlaksana, walaupun hanya menginap dua malam di sana,” katanya sambil tertawa.

Kami tidak perlu memiliki Rumah Ketabang karena kehidupan terus berjalan. Misalnya, karena saya kemudian sekolah, kuliah dan bekerja di Jakarta, jodoh saya pun orang yang lahir dan besar di Jakarta.

Bersyukur bahwa Rumah Ketabang menjadi guest house dengan harga terjangkau. Kami bisa masuk ke dalamnya sewaktu-waktu, dan menjamah kembali kenangan masa lalu.

Booking Soerabaja Place

Foto keluarga di teras Ketabang tahun 1956. Dari kiri ke kanan: Mbak Ul menggendong Mas Eddy, Mbak Mar, Ibu menggendong Mas Bambang dan Bapak. Duduk di sepeda Mbak Wik dan Mbak Sri. Saya belum lahir.

Booking Soerabaja Place

Saya (kanan) ketika bersekolah di TK Sedep Malem. Bersama Dik Yoyok, si bungsu.

Yuk ‘#LihatDuniaLagi dan bikin #StaycationJadi’ dengan Traveloka!

Langsung meluncur ke Traveloka lewat link ini:  https://trv.lk/kompetisi-lihatdunialagi-bloggerperempuan

Naik Bus Jakarta – Denpasar: 8 Langkah agar Nikmat

Naik Bus Jakarta – Denpasar: 8 Langkah agar Nikmat

Naik Bus Jakarta – Denpasar: 8 Langkah agar Nikmat

Naik bus Jakarta-Denpasar? Banyak yang terkejut dengan ide ini, dan menganggap saya aneh. Padahal moda transportasi ini bisa jadi pilihan bagi yang ingin bertualang. 

N-E

Yuk, Naik Bus!

Saat menerima undangan pernikahan di Bali, saya mendapat ide untuk melakukan perjalanan naik bus Jakarta-Denpasar. Banyak yang terkejut dengan ide ini, dan menganggap saya aneh. Alhamdulillah suami saya mendukung, sekalipun saya akan melakukan solo journey. Kami sering melakukan perjalanan darat ke berbagai kota dengan mobil sendiri di Pulau Jawa, jadi suami saya ikhlas melepas saya karena dapat memperkirakan situasi jalan.

Ternyata perjalanan sepanjang 1.200 km itu tidak seperti yang saya dan suami saya bayangkan. Yah, namanya bertualang atau ngebolang, banyak kejutan yang saya dapatkan.

Dengan pengalaman yang sudah saya dapatkan, saya merasa punya “modal pengetahuan” untuk jalan-jalan lewat darat. Saya pun merangkum ilmu baru itu menjadi delapan langkah berpetualang dengan bahagia.

 

Satu: Mempelajari Situasi Naik Bus

Langkah pertama yang saya lakukan adalah melihat reviu busmania di Youtube. Ada banyak reviu tentang bus kota Jakarta-Denpasar. Saya memperhatikan situasi di terminal keberangkatan, kebersihan bus, kenyamanan kursi, dan karakter pengemudi. Semua pemberi reviu memberikan informasi positif tentang keempat hal di atas. Ini membuat saya semakin bersemangat untuk bepergian dengan bus ke Denpasar.

Dua: Membeli Tiket

Kita bisa membeli tiket bus di agen tiket bus, atau ke website perusahaan bus kota atau web penjualan tiket, seperti  easybook.com. Bisa juga membeli  melalui aplikasi Traveloka.

Pilihan saya adalah yang terakhir, karena saya cukup familiar dengan Traveloka. Pada aplikasi Traveloka kita cukup mengklik ikon “bus & shuttle“, lalu memilih hari dan tanggal. Setelah mengklik, kita akan mendapatkan data tentang bus, terminal keberangkatan dan terminal kedatangan serta harga. Oh ya di sana ada juga reviu tentang bus.

Saya memilih bus X yang berangkat pukul 12.30 dari Pulo Gebang dan tiba di Denpasar pukul 11.30 keesokan harinya. Dengan berangkat dan tiba di tengah hari, saya berharap menikmati banyak pemandangan kota-kota di Pulau Jawa.

Mengapa saya memilih Pulo Gebang? Jujur saya kepincut dengan reviu di Youtube yang menunjukkan Pulo Gebang itu semewah bandara. Suami saya pun setuju untuk memilih Pulo Gebang. Karena lokasinya paling Timur daripada terminal-terminal lain, potensi kemacetan akan berkurang.

Tiga: Melengkapi Persyaratan Dokumen

Sebelum berangkat, kita perlu mempelajari syarat vaksin. Syarat utama adalah menjalani vaksin booster. Namun bila baru menjalani Vaksin II atau vaksin I, ada kemudahan. Penumpang dapat membawa surat pemeriksaan Antigen. Karena saya baru menjalani Vaksin II, saya pun ke klinik dekat rumah untuk pemeriksaan Antigen. Alhamdulillah hasilnya negatif.

Beberapa penumpang tidak membaca persyaratan ini, sehingga begitu tiba di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, mereka pun digiring ke sebuah klinik untuk menjalani vaksin Antigen. Biaya pemeriksaan di klinik pelabuhan hanya Rp40.000, jadi lebih murah daripada di Jakarta. Sekalipun demikian ada penumpang yang tidak siap uang, KTP, maupun data internet.

Di dalam perjalanan kita beberapa kali diminta menunjukkan KTP asli, jadi sebaiknya KTP ditaruh di tempat yang mudah diambil. Pertama, saat memasuki checkpoint setelah menukar e-ticket dengan tiket kertas. Seorang petugas Dishub akan mengecek kecocokan data di tiket dengan data KTP.

Kemudian kita juga perlu tunjukkan tiket lagi saat vaksin Antigen (bagi yang belum booster), dan saat melewati dua checkpoint di pelabuhan Gilimanuk, Bali.

Empat: Menjaga Kesehatan

Sebelum menempuh perjalanan dengan bus kota, menjaga kesehatan adalah syarat utama. Kalau kita tidak sehat, maka kenikmatan perjalanan pasti akan terganggu.

Persiapan fisik saya lakukan seminggu sebelum perjalanan. Memang sih, kalau lebih panjang persiapannya akan lebih baik. Berhubung keputusan untuk naik bus ini datang hanya seminggu sebelum keberangkatan, saya pun melakukan  persiapan begitu tiket dipesan.

Hal-hal yang saya lakukan adalah

 

 

Berjalan kaki ke tempat kerja

Berhubung tempat kerja saya hanya berjarak 700 meter dari rumah, saya pun “mencari keringat” dengan berjalan kaki berangkat dari rumah ke tempat kerja, atau sebaliknya, dari tempat kerja ke rumah. Saya bukan orang yang taat berolahraga. Biasanya, ada saja alasan untuk naik kendaraan karena banyak berkas atau perlengkapan yang dibawa.

Mungkin pembaca ada yang berkomentar, “Lah, kalau jarak kantor saya berkilo-kilo meter bagaimana? Masa disuruh jalan kaki?” Sabaar … dicari cara sajalah untuk melatih otot-otot tubuh. Jangan menjadi victim dari keadaan kalau ingin sehat.

Minum vitamin

Vitamin diperlukan untuk menambah imunitas. Ada kenalan yang suntik vitamin C sebelum perjalanan Jakarta-Bali dengan moda bus. Waduh, kalau saya lebih baik minum vitamin saja deh. Kebetulan saya memang minum vitamin D dan B Kompleks secara rutin untuk imunitas.

Menjaga pola tidur

Nah ini. Seperti biasa, kalau akan pergi lama, akan ada banyak pekerjaan yang mesti diselesaikan segera. Mau tidak mau ini mengganggu waktu tidur saya. Saya tetapkan untuk tidur cepat dan bangun pagi-pagi sebelum subuh untuk mengejar deadline.

Lima: Menyimpan Peralatan Mandi di Tas Kecil

Perjalanan Jakarta-Denpasar memerlukan waktu minimal 17 jam (seperti tertera di tiket). Kenyataannya, waktu tempuh menjadi 30 jam, dan ada waktu empat jam untuk menunggu bus datang. Total 34 jam perjalanan yang kita habiskan.

Dalam rentang waktu sepanjang itu, pada kondisi normal, orang yang beragama Islam melaksanakan delapan kali salat. Namun karena ada kemudahan bagi musafir (orang yang melakukan perjalanan), kita bisa melakukan jama sehingga hanya ada empat kali salat yang kita lakukan (zuhur-ashar, magrib-Isya, subuh, zuhur-ashar). Agar kita bisa beribadah dengan baik, kita perlu menjaga kebersihan tubuh dan pakaian.

Di bus ada rak tas, terletak menempel pada langit-langit kendaraan. Tas besar/koper disimpan di bagasi, di perut mobil. Wadah perlengkapan kebersihan pastinya tidak kita taruh di bagasi. Akan merepotkan kenek atau sopir apabila kita beberapa kali minta tolong diambilkan tas.

Apa isi tas kecil di kabin? Tergantung kebutuhan setiap orang, ya. Namun saya pikir yang pokok adalah pakaian ganti, pakaian dalam, handuk kecil, sikat gigi, odol, sabun serta toilet spray.

Oh ya jangan khawatir dengan kebersihan toilet. Dari semua toilet yang saya datangi cukup terjaga kebersihan dan aromanya.  Kloset, lantai, ember, pintu, lantai dan tempat sampah cukup bersih, bahkan ada yang kering. Saya menggunakan toilet di Terminal Pulo Gebang, Rumah Makan Singgalang Jaya Indramayu, Rumah Makan Utama di Madiun, Rumah Makan Prima di Pasir Putih, Situbondo, dan WC Umum di Pelabuhan Ketapang yang dijaga seorang ibu berkebaya. Ada toilet berbayar dan ada yang tidak berbayar. Kalau berbayar biayanya Rp2.000-Rp3.000, atau suka rela.

Enam: Menjaga Ponsel Tetap On

Di dalam perjalanan jauh, smartphone  diperlukan untuk menunjukkan dokumen perjalanan, berkomunikasi dengan keluarga dan teman, untuk mendokumentasikan perjalanan.

Ada dua hal untuk menjaga ponsel “siap tempur”:

      Baterai

      Pertama pastinya baterai harus tetap penuh. Di bus ada power supply yang terletak di rak tas. Namun letaknya cukup tinggi, setidaknya untuk saya yang tingginya 155 cm. Saya perlu naik ke kursi untuk mencapai rak itu. Tidak semua penumpang perempuan nyaman untuk berdiri di atas kursi, sehingga mereka minta tolong kepada penumpang lelaki untuk memasangkan charger ponsel ke power supply.

      Ada restoran yang menyediakan booth untuk power supply, ada yang tidak. Kalaupun kita bisa “nyolokin HP”, kita harus duduk di dekat power supply itu. Belum tentu kan kita beruntung mendapat tempat makan di dekat power supply. Biasanya meja di dekat power suppy menjadi incaran banyak penumpang yang butuh menambah daya HP.

      Untuk mengatasi hal itu sebaiknya kita membawa power bank dengan daya penuh. Kapan pun kita perlu menambah daya baterai, kita bisa melakukannya dengan mudah.

      Internet & aplikasi

      Ponsel wajib memiliki internet. Kita perlu menunjukkan e-ticket dan sertifikat vaksin pada aplikasi Peduli Lindungi. Tindakan yang sat-set-sat-set sangat diperlukan ketika petugas menanyakan dokumen perjalanan kita, untuk menunjukkan bahwa dokumen perjalanan kita lengkap.

      Aplikasi  yang wajib ada di ponsel adalah

      1. Peduli Lindungi. Saat memasuki pelabuhan Ketapang (Banyuwangi) dan Gilimanuk (Bali), aplikasi Peduli Lindungi sebaiknya dalam keadaan terbuka agar terlihat sertifikat vaksin. Bisa juga sertifikat itu dibuatkan screenshot, sehingga kita tinggal membuka di galeri.
      2. Aplikasi Traveloka atau agen penjual tiket mana pun. Kita perlu menunjukkan e-ticket. Tiket elektronik bisa juga dibawa dalam bentuk cetak. Namun saya cenderung menghindari bentuk cetakan karena kurang praktis dan mudah terselip. Di samping itu, saya mencoba menerapkan gaya hidup hijau dengan mengurangi sampah.
      3. Aplikasi peta Waze. Di luar aplikasi wajib, saya punya aplikasi tambahan yang penting untuk saya, yaitu aplikasi peta Waze. Ini sangat pribadi dan terbentuk sejak kecil. Ketika saya kecil, kalau bepergian ke luar kota, ayah saya mengajari saja untuk membaca kilometer yang kami tempuh dengan memperhatikan  batu bata kecil bercat putih di tepi jalan.Kebiasaan itu menumbuhkan sense of control mengenai keberadaan saya saat bepergian. Kini saya tidak perlu mengamati penanda km di tepi jalan. Dengan aplikasi Waze, saya bisa mendapatkan data tentang waktu tiba, serta jarak dan waktu tempuh. Di tengah jalan tol yang panjang, saya juga bisa tahu kami tengah melintasi kota atau desa apa. Sekalipun laut tidak terlihat, saya bisa tahu bahwa kami tengah menyisir pantai.Dalam perjalanan ke Bali itu ada penumpang yang tahu saya aktif membuka Waze sehingga dia selalu bertanya tentang lokasi dan pergeseran jam kedatangan.Waze saya matikan di saat saya tidur atau bila merasa sudah cukup mendapat informasi.

      Tujuh: Membawa Penghangat

      Dari reviu di Youtube saya mendapat info bahwa kita bisa kedinginan di bus. Sekalipun bus memberikan selimut, saya memperkirakan bahwa saya tidak akan nyaman memakai barang milik orang lain. Karena itu saya membawa baju hangat, dan slayer dari wool. Perlengkapan itu cukup membantu saya menutupi leher dan dada, dan menghangatkan kaki.

       

       

       

       

      Delapan: Siap Belajar

      Syarat untuk bahagia naik bus kota Jakarta-Denpasar, khususnya dengan perusahaan bus yang saya naiki, adalah be flexible.  Camkan pada diri bahwa kita sedang bertualang, dan dalam petualangan segala hal bisa terjadi. Jadilah gelas kosong.

      Mengapa demikian?

      Di tiket tertulis bahwa bus berangkat pukul 12.30. Ternyata, oh ternyata, dari jam ke jam bus tidak datang juga. Setiap kali datang armada bus dari perusahaan tersebut, saya dan penumpang lain ke luar, tetapi kami mendapatkan bahwa bus itu bukan ke Bali. Bus baru datang sekitar pukul 5.

      Semula saya kesal dengan servis seperti ini. Saya merasa pihak bus kurang menghargai waktu penumpang. Apalagi tidak ada konter customer service untuk bertanya, ataupun nomor hotline. Sungguh berbeda dengan perusahaan penerbangan ataupun kereta api yang mengedepankan ketepatan waktu. Juga selalu ada permintaan maaf. Di perjalanan ini, tidak ada penjelasan apa pun dari pihak bus, apalagi permintaan maaf.

      Soo….

      Lama-kelamaan saya berpikir, betapa ruginya saya kalau terus berkeluh kesah. Saya tidak bisa mengubah perusahaan bus, tapi saya punya kontrol terhadap diri saya. Saya sudah memilih perjalanan dengan bus, jadi saya harus menjalaninya dengan nikmat.

      Saya mencoba memahami bahwa iklim di perusahaan bus bukanlah bisnis ala Barat yang sarat dengan ketepatan dan kaku. Perusahaan bus lebih mirip paguyuban yang lentur, dikendalikan oleh alam dan situasi, sekalipun berbayar.

      Jadi ketika bus terlambat, calon penumpang perlu memahaminya sebagai hal yang wajar. Seorang penumpang mengatakan, “Siapa tahu sedang diperbaiki. Lebih baik terlambat namun aman.”

      Penumpang lain berkomentar bahwa sudah biasa bus kota Jakarta-Denpasar menempuh waktu 24 jam.

      Dalam perjalanan kemarin saya bertemu dengan  orang-orang yang sabar dan menerima segala keadaan.

      Ya, ngebolang berarti bersinergi dengan gerak alam dan kehidupan.

      Biaya Perjalanan

      Biaya ini hanya gambaran kasar, karena bisa berbeda untuk setiap orang.

      Tiket Jakarta Denpasar = Rp600.000

      Air mineral + jajan = Rp50.000

      Antigen (bila belum booster) = Rp40.000

      Kamar kecil = Rp10.000

      Total = Rp700.000

      Sst … Ada Perlengkapan Kecil yang Sangat Penting

      Toilet Spray!

      Selama perjalanan ke Bali saya memasuki lima toilet. Saya merasa nyaman dan terlindungi saat menggunakan toilet duduk dengan benda kecil ini.

      Terima kasih sahabat-sahabatku, Mbak Ira dan Mbak Ai, yang tekah memberi saran membawa toilet spray.

      Saya beli di Tokopedia

      Tentang Web Narasi

      Pengisi Konten: Endah WS

      Page Builder: Divi/Elegant Themes

      Layout Pack: Writer

      Font: Cutive Mono (Heading)/Ubuntu (Body Text)

      N-EWS: Narasi Endah WS

       

      N-EWS

      Win Meong dari Semarang

      Win Meong dari Semarang

      Win Meong dari Semarang

      dari Semarang

      Win

      Win Meong – Saya menemukan hal menarik di area Kota Lama Semarang dalam kunjungan bulan November 2021.

      Seorang perempuan mungil dan menawarkan jasa pemandu wisata. Dia berkacamata, rambut diikat, dan memakai kaos berlengan panjang serta celana jeans. Teman-teman saya langsung pergi ketika Win mendekat.

      Bisa dipahami, bagi orang Jakarta, kehadiran orang tak dikenal tidaklah membuat nyaman. Lagi pula, buat apalah penjelasan pemandu wisata karena kami bisa membaca tentang Kota Lama di internet.

      Tawaran memotretkan pun kurang seksi bagi rombongan kami. Kami bisa bergantian memotret, dan bisa foto wefie dengan adanya fitur penghitungan waktu di ponsel. Sebagian di antara kami juga belajar fotografi, dan punya HP dengan kamera sangat baik.

       

       

      Sepertinya, dia bukan pemandu biasa

      Namun, entah kenapa ada sesuatu yang menarik pada Win. Saya berbisik kepada Agung, anggota rombongan yang tengah mengamati Gereja Blenduk, untuk menerima tawarannya. “Kita tolong penduduk lokal, yuk,” kata saya.

      Agung, yang berprofesi sebagai pendeta, mengangguk. Kami pun mengiyakan tawaran Win. Proyek pertama yang ditawarkan Win adalah memotret Agung di depan Gereja Blenduk.

      Win mengarahkan kameranya agak ke atas sehingga kubah gereja terlihat. Win memperlihatkan bahwa dia seorang pemotret yang jeli.

      Dia tahu angle yang baik di berbagai sudut di kota lama. “Kaki kiri ke depan, tangan kanan ke atas dan jangan lihat kamera,” katanya ketika memotret saya dengan latar akar menempel bangunan lama.

       

      Teman-teman saya pun jatuh hati kepada Win. Mereka bergantian meminta Win memotretkan.

      Di lorong rumah akar, di depan Restoran Spiegel, dan di dalam kafe Hero, apakah itu indoor atau outdoor, Win bisa menghasilkan foto dengan angle yang baik.

      Untuk menghasilkan efek rustic malah kadang fotonya dia set menjadi hitam putih. Kami pun punya banyak foto bersama dengan lengkap.

      “Berbaris di sini. Baju merah jangan dekat yang merah, nanti baur. Pura-pura jalan,” kata Win. Atau dalam kesempatan lain, dia membuatkan video slomo.

      Win bisa mengambil hati keenam tamu kotanya. Dia santun, dan tidak banyak bicara. Malah dia tidak menjelaskan soal sejarah area itu karena kami lebih ingin berfoto di sana.

      Jadi siapakah Win Meong? Baca kelanjutannya di Win Meong dan Sisi Baik Kota Lama Semarang (detik.com)

       

       

      Baca juga petualangan saya yang lain: Jakarta-Denpasar dengan bus 

      Sabira, Pulau Penuh Cerita

      Sabira, Pulau Penuh Cerita

      Sabira, Pulau Penuh Cerita

      Siap ke Pulau Sabira? Pulau ini terletak 160 km dari Jakarta, dan berada di paling utara Kepulauan Seribu. Sejarahnya unik!

      Saya ke sana pada tahun 2019 untuk menulis tentang Bu Hartuti, pionir Pulau Sabira.  Ya, “penemu” pulau itu adalah suaminya, Pak Joharmansyah, seorang nelayan keturunan Bugis pada tahun 1975. Semula mereka tinggal di Pulau Genteng. Namun karena pulau itu akan dijadikan kawasan wisata, penghuni pulau harus meninggalkan tempat itu. Pak Johar pun menemukan pulau kosong yang dikelilingi laut dengan banyak ikan, bernama Pulau Sabira. Bersama dua keluarga lain mereka naik kapal dan hijrah ke pulau itu.

      Saya penasaran melihat jejak perjuangan Pak Johar dan Bu Tuti sebagai pembuka lahan di sebuah pulau. Karena itu, sebelum ke sana saya menemui Bu Hartuti di rumahnya di Muara Kamal, Jakarta Utara. Itu adalah rumah kedua Bu Hartuti, yang ditempatinya jika ada keperluan berobat. Saat saya mewawancarai Bu Hartuti, putri sulungnya, Bu Firsawati, ikut mendampingi. 

       

      N-E

      Yuk, ke Pulau Sabira!

      Ke Kali Adem

      Beberapa hari setelah wawancara, saya berangkat ke Pulau Sabira. Saya mengajak sahabat saya, Mbak Iyang, agar bisa mendapatkan foto yang bagus tentang  Sabira.

      Hari Sabtu 16 November 2019 sekitar pukul 7.30 saya dan Mbak Iyang  tiba di Pelabuhan Kali Adem,  Jakarta Utara. Pelabuhan cukup ramai hari itu. Bu Hartuti bilang bahwa pengguna kapal di akhir pekan harus antre sejak pukul 6 karena banyak orang bepergian ke Kepulauan Seribu.

      Atas kebaikan keluarga Bu Hartuti, kami tidak mengantre sejak pagi. Fitri, cucu sulung Bu Hartuti yang bekerja di Jakarta, mendampingi kami ke Sabira, dan membantu pengurusan tiket. Dia mendaftarkan nama kami, dan berdiri di antrean sebelum loket dibuka.

      Begitu tiba, kami langsung ikut bergabung dengan Fitri di antrean Jalur 3, yaitu Jalur Kaliadem -Pulau Kelapa-Pulau Sabira. Ada dua jalur antrean lain, yaitu pelayaran Kaliadem Muara Angke –  Pulau Tidung, dan pelayaran Kaliadem Muara Angke –  Pulau Pramuka.

      Tepat pukul 8, loket dibuka. Kami bergerak maju, sesuai giliran. Saat berada di depan loket kami membayar dan menunjukkan tanda bukti diri. Biaya ke Pulau Sabira Rp74.000 (di tahun 2019, sekarang Rp84.000) sekali jalan.

      Biasanya, jika bepergian saya membeli tiket pulang pergi. Saya agak cemas karena tidak bisa membeli tiket pulang. Namun untuk perjalanan ke Pulau Sabira ini saya harus membeli di sana. Pihak Dishub (Dinas Perhubungan) tidak menjual tiket pulang karena pelayaran sangat ditentukan oleh cuaca.

      Sabira

      Foto-foto oleh Librianti (Iyang), kecuali kalau ada keterangan khusus.

      Di Kapal

      Setelah mendapat tiket, kami pergi ke dermaga untuk naik kapal. Cuaca sangat terik. Untunglah saya membawa topi dan memakai kerudung yang membantu menangkal tusukan panasnya matahari.

      Sejak tahun 2019 Dishub mengoperasikan pelayaran dari Jakarta ke Pulau Sabira dengan kapal jenis fiber yang dioperasikan dengan mesin, untuk menggantikan kapal tradisional kayu. Dengan kapal Dishub, perjalanan ke Sabira bisa ditempuh dalam waktu tiga jam, berbeda dengan kapal kayu yang perlu waktu tempuh sembilan jam.

      Dalam seminggu kapal tiga kali berlayar dari Kali Adem ke Pulau Sabira (Senin, Rabu dan Sabtu), dan kembali ke Jakarta hari Selasa, Kamis dan Minggu.

      Menjelang pukul 9, petugas memanggil penumpang satu per satu. Saya hanya membawa ransel dan tas tenteng, sehingga tidak repot ketika harus beberapa kali melompat dari dermaga ke dek kapal, dan dari dek ke lantai kapal.

      Suasana di dalam kapal nyaman, sekalipun tanpa pendingin udara. Ketika kapal sudah melaju. angin sepoi-sepoi berembus dari jendela kanan dan kiri. Buih-buih saat kapal melaju membuat suasana menjadi adem.

      Di setiap kursi ada pelampung berwarna oranye. Ketika kami duduk, pilihannya adalah memangku pelampung itu atau meletakkannya di dekat kaki.

      Udara yang segar membuat kami bisa beristirahat dengan nyaman. Apalagi kursi dapat disandarkan ke belakang.

      Selama tiga jam saya sempat tidur, juga mengobrol dengan Mbak Iyang sambil mengunyah camilan.

      Kapal transit di Pulau Panggang. Ada penumpang turun di pulau itu, dan ada pula yang naik. Jumlah penumpang yang turun dan naik seimbang, sehingga kenyamanan tetap terjaga.

      Dari jendela kapal saya melihat Pulau Panggang sudah banyak berubah dari kunjungan saya di tahun 2000-an.  Dulu Pulau Panggang kumuh, bahkan jamban pun belum tentu ada di setiap rumah. Kini Pulau Panggang terlihat segar dengan pagar dermaga  warna-warni.

      Saya menjadi penasaran, bagaimana ya Pulau Sabira?

      Sabira

      Itu Sabira!

      Akhirnya kapal tiba di Pulau Sabira, pulau di ujung utara Jakarta. Ucapan selamat datang terlihat di dermaga. Ada juga tugu Pulau Sabira. Dari dalam kapal saya melihat sebuah pulau yang bersih.

      Sabira merupakan pulau mungil dengan luas 8,5 hektare, dan hanya merupakan satu kawasan RW (Rukun Warga) dengan tiga RT (Rukun Tetangga). Penduduknya sebagian besar merupakan keturunan Bugis.

      Kami meninggalkan kapal, dan saya merasa tenang ketika mendapat info bahwa kapal motor akan menunggu di dermaga untuk membawa penumpang kembali ke Jakarta. Saya berdoa supaya bisa pulang sesuai rencana.

      Memasuki permukiman Sabira, kami  melewati rumah-rumah panggung dari kayu. Sebagian rumah sudah berubah menjadi rumah bata, seperti rumah Bu Hartuti.

      Kami menapaki jalan yang diperkeras dengan paving block. Sabira telah menjadi permukiman dengan tata rumah bergaya modern: ada jalan di antara rumah yang dibangun saling berhadapan.

      Seorang penduduk awal Sabira, Pak Nurdin, mengatakan bahwa dulu di Pulau Sabira belum ada nama jalan, dan posisi rumah masih berantakan. Pak Nurdin adalah putra tetangga keluarga Johar. Dia baru berusia 10 tahun ketika dibawa orang tuanya ke Sabira.  Saya berkenalan dengan Pak Nurdin dalam perjalanan dari Sabira ke Jakarta.

       

       

      Sabira

      Lama & Modern

       

      Kini di Sabira sudah ada nama jalan dari nama-nama ikan.“Ketika pemerintah turun tangan, ada penataan lingkungan,” kata Pak Nurdin. 

      Tentang masa awal di Sabira, Bu Hartuti mengenang, “Dulu ketika kami baru pindah, kami tidur di tenda dekat pantai. Kami bergotong royong membangun rumah dengan dinding dan atap dari daun kelapa.”

      Beberap saat kemudian mereka bersama-sama membangun rumah panggung dengan kayu-kayu yang tedampar di pantai. Lokasi pun berubah. Dari tepi pantai, penghuni pertama ini bergeser ke dalam pulau setelah membabat pepohonan di pulau itu.

      Saat generasi awal Sabira membuka lahan, ada beberapa pohon yang tidak ditebang. Salah satunya adalah  pohon ketapang yang kini ada di depan rumah Bu Hartuti.

      Ya akhirnya kami tiba di rumah keluarga Pak Johar-Bu Hartuti. Rumah itu terbuat dari bata bercat putih dan ada bagian yang dicat warna-warni.

      Pada bagian depan rumah terdapar warung sembako yang dikelola oleh Bu Erna, salah satu putri Bu Hartini. Saya teringat, ketika mewawancara Bu Hartuti di Muara Kamal, saya melihat berkarung-karung beras di ruang tamu. “Ini untuk dibawa ke pulau,” katanya. Beras itu dikirim dengan kapal kayu dari Jakarta.

      Rumah Bu Hartuti terasa sepi. Anak-anak Bu Hartuti sudah tinggal di rumah masing-masing di Pulau itu. Fitri, yang menemani kami dari Kaliadem, langsung ke rumah orang tuanya.

      Kami ditempatkan di kamar depan yang mempunyai dua tempat tidur, masing-masing berukuran Queen dan single.  Kamar itu memang diperuntukkan bagi tamu yang menginap

       

      Ikan, ikan, ikan

      Siang itu kami dijamu dengan hidangan ikan kue pedas dan bakso ikan yang dimasak oleh Bu Erna. Baksonya adalah buatan tetangganya. Hmm nikmat sekali di saat lelah menyantap bakso ikan dan ikan kue pedas.

      Kami makan hanya berdua di ruang tamu. Bu Erna sibuk di dapur. Di warung ada Pian, cucu Bu Hartuti dari putra bungsunya, Pak Ali Kurniawan. Pak Ali adalah ketua RW sejak 2017, menggantikan ibunya yang memegang jabatan itu sepeninggal suaminya di tahun 2012.

      Di beberapa halaman rumah saya melihat alat panggangan. Menurut Pian, orang Sabira suka bakar-bakar ikan.

      “Belum makan kalau belum ada ikan,” kata Bu Hartuti.

      Setelah beristirahat, sore itu kami berkeliling Pulau Sabira ditemani Pian.

      Saya bertanya kepada Pian untuk apakah palang-palang besi yang ada di tepi pantai itu.

      “Oh itu alat penjemur ikan,” kata Pian.

      Saya teringat pada cerita Bu Hartuti yang menggagas usaha ikan asin Pulau Sabira.  “Saya mendorong ibu-ibu untuk mengolah ikan asin, daripada bengong nunggu suami melaut. Semula ibu-ibu tidak mau karena takut kulit jadi gosong,” kata Hartuti. “Saya bilang, tidak apa gosong, yang penting kita bisa menambah penghasilan keluarga.”

      Ikan asin dibuat dari ikan selar, dan punya daya jual lebih tinggi daripada ikan basah.

      Menurut Bu Hartuti, olahan ikan asin Sabira termasuk kategori kualitas terbaik. “Fresh, karena baru diambil dari laut. Begitu datang langsung diberi garam, dibiarkan semalam, dicuci, lalu dijemur. Tidak ada bahan pengawet,” katanya.

      Kini produk unggulan Pulau Sabira adalah kerupuk, ikan belah, ikan asin dan abon ikan. Bu Firsa  yang bersuamikan seorang nelayan pun mempunyai usaha abon ikan selar. “Tetapi sekarang sulit mendapatkan ikan selar,” katanya. “Musim kering yang panjang menyebabkan ikan selar sulit dicari.”  

      Langkanya ikan selar menyebabkan produksi ikan asin juga turun. Saat saya di Sabira, saya mendapati tempat penjemuran ikan asin dalam keadaan kosong.  
      Sabira

      Hanya SD dan SMP

      Sore itu saat berjalan-jalan di pulau, kami melewati SD-SMP Negeri Satu Atap, Sabira. Pian bersekolah di sana,

      Di Sabira tidak ada SMA. Biasanya cucu Bu Hartuti melanjutkan SMA di Jakarta. Contohnya adalah Fitri, cucu pertama Bu Hartuti yang menemani kami dari Kaliadem. Setamat SMA Fitri kuliah di Sekolah Tinggi Perikanan, dan kini sudah lulus.  Saat ini Fitri bekerja di Suku Dinas Perindustrian dan Energi. Fitri ditugasi membina UKM di Pulau Kelapa.

      Pian sendiri bercita-cita bekerja di kapal barang, dan masih belum menentukan pilihan apakah akan bersekolah di MAN (Madrasah Aliyah Negeri) di Jakarta atau di Sekolah Menengah Kejuruan yang sesuai dengan cita-citanya.

      Sekarang cucu-cucu Bu Hartuti bisa mendapat pendidikan yang baik. Bagaimana dengan pendidikan anak di masa awal Sabira?

      Pak Nurdin mengenang, dia belajar di rumah Haji Johar. Kebetulan anak keluarga Johar, Bu Firsa, seusia dengannya. “Haji Johar sendiri yang mengajar kami membaca dan menulis. Itu pendidikan formal yang saya peroleh. Selebihnya saya bersekolah di laut,” kata Pak Nurdin.

      Kemudian Pak Johar membangun gedung sekolah dari dari papan-papan bekas kapal yang terdampar. Bangku dan meja dibuat oleh tetangga-tetangga yang juga ingin di pulau itu ada sekolah.

      “Guru yang pertama ya Bapak, bila tidak melaut. Saya juga mengajar, bila Bapak ke laut. Kemudian ada warga juga yang mengajar,” kata Bu Hartuti.

      Tahun 1985 sekolah itu sudah punya bangunan permanen. Peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Wiyogo. Tenaga pengajar berasal dari luar pulau.

      Sore itu pun kami bertemu dengan guru-guru SD-SMP Satu Atap yang merupakan pendatang. Mereka tinggal di mess di kompleks sekolah. Mereka sosok muda yang berani ditempatkan di lokasi terpencil. Ya, berani. Seperti halnya Pak Johar dan Bu Hartuti.

       

       

      Ketika Malaria Melanda

       Kami juga melewati Puskesmas Sabira. “Ada bidan dan perawat yang berjaga setiap hari, dan sebulan sekali Sudin Kesehatan berkunjung ke pulau,” kata Bu Hartuti. “Bila ada kasus-kasus yang perlu penanganan lanjut, pasien dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng.”

      Seperti saat wawancara dilakukan, Bu Hartuti tengah melakukan pemeriksaan mata di RSUD Cengkareng. Pemeriksaan perlu beberapa kali, sehingga dia harus menginap di rumahnya di Muara Kamal. “Alhamdulillah hanya masalah kacamata, tidak perlu penanganan lebih lanjut.”

      Di awal berdirinya kampung Sabira, penduduk lebih mempercayakan pengobatan pada dukun. “Kalau sakit, mereka pergi ke dukun,” kata Bu Hartuti.

      Sekitar tahun 2000, terjadi wabah malaria. “Pasien-pasien bergeletakan di rumah-rumah. Mereka meminta pertolongan kepada kami,” kata Bu Hartuti. “Hari-hari itu kami sibuk membawa pasien ke Rumah Sakit Cengkareng. Perjalanan ke Jakarta perlu waktu 8-9 jam.”

      Siti Aisyah, seorang kader Posyandu juga ikut sibuk pada waktu itu. “Alhamdulillah saya tidak sakit, jadi bisa membantu. Saya ikut mengantar ke rumah sakit naik kapal, menguruskan administrasi dan mendampingi tetangga-tetangga selama dirawat.”

      Sejak adanya wabah malaria, masyarakat bersedia berobat ke Puskesmas.

       

       

      Sabira

      Terima kasih, Sabira!

      Menjelang Magrib kami melihat anak-anak dan beberapa warga berjalan dengan memakai sarung dan mukena. Mereka menuju Masjid Nurul Bahri.

      Semula masjid itu merupakan musala sederhana yang dibangun dari kayu-kayu perahu yang terdampar di pantai.

      “Di tahun ’80-an kami membangun mesjid. Kami memakai batu bata kuno yang dibongkar dari sebuah sumur tua,” katanya. “Saya mengajak ibu-ibu membantu mengambil pasir untuk mesjid, juga membuatkan makan dan minum untuk para pekerja yang terdiri dari para tetangga.”

      Saat itu ada guru mengaji dari Pulau  Genteng yang ikut pindah ke Sabira. Pak Ustad mengajarkan mengaji dan menjadi imam di masjid.

      “Hari Jumat menjadi hari ibadah. Nelayan tidak melaut pada hari itu,” kata Bu Hartuti.

      Malam itu kami makan malam di bawah tenda di depan rumah. Lauknya ikan tengek bakar. Bukan hanya keluarga besar Joharmansyah yang berkumpul, tetapi juga pegawai Dishub.

      “Kami sering makan bersama-sama kalau mendapat ikan besar,” kata Erna.

      Sifat guyub yang tidak hilang sejak Sabira didirikan.

      Sifat kekeluargaan yang juga terlihat ketika saya dan Mbak Iyang akan pulang di hari Minggu. Bu Erna menemani kami di dermaga, dan memastikan kami bisa membeli tiket dan cuaca baik.

      Kami pulang sesuai rencana waktu, membawa kenangan tentang keberanian menantang hidup di sebuah pulau.

       

      Di Balik Cerita Sabira

      Di cerita di atas saya menyebut beberapa nama. Penasaran dengan wajah mereka?

      Narasi Perjalanan yang Lain

      Win Meong dari Semarang

      Win Meong dari Semarang

      Saat ke Semarang bersama teman-teman kuliah, saya bertemu dengan seorang perempuan pemandu wisata yang luar biasa di Kota Lama.

      read more

      Sst … Ada Perlengkapan Kecil yang Sangat Penting

      Toilet Spray!

      Kalau bepergian saya selalu bawa ini.

      Saya beli di Tokopedia

      Sabira

      Tentang Web Narasi

      Pengisi Konten: Endah WS

      Page Builder: Divi/Elegant Themes

      Layout Pack: Writer

      Font: Cutive Mono (Heading)/Ubuntu (Body Text)

      N-EWS: Narasi Endah WS

       

      N-EWS

      × Hubungi saya